Rabu, 07 Juni 2017

KONSELING COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY

3.Konseling Kognitif Behavior
            Dengan metode dan konsep yang khas, kognitif behavior mempresentasikan pendekatan konseling yang penting. Pendekatan ini bersumber pada pskologi behavior dan memiliki tiga  karakteristik : pemecahan masalah (problem solving), pendekatan perubahan terfokus ( change focused approach) untuk menghadapi klien, penghormatan terhadap nilai alamiah; dan memiliki perhatian yang lebih terhadap proses kognitif—alat untuk mengontrol dan memonitor perilaku mereka.
Latar Belakang
   Aaron T. Beck mengembangkan pendekatan yang dikenal sebagai terapi kognitif (CT) sebagai hasil dari penelitiannya tentang depresi. Dia mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pensdekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli.
Pendekatan kognitif-behavioral merepresentasikan keterbukaan ilmiah dari pada aliran besar terapi lainnya. Dimensi behavioral dalam pendekatan kognitif behavioral bersumber dari psikologi behavioral, yang diketahui secara luas, diciptakan oleh J.B Watson, khususnya melalui publikasi Psychology from the Standpoint of a Behaviourist pada 1919. Watson dkk selama 1920 melakukan pengkondisian (conditioning) dan pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa takut, merupakan cikal bakal terapi perilaku formal. Pada tahun 1927, Ivan Pavlov terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan memakai suara bell untuk mengkondisikan anjing bahwa bell  sama dengan makanan, yang kemudian dikenal juga sebagai Stimulus dan Respon.
Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck. Secara umum, terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian, lingkungan, dan perilaku. Skinner dkk. di Amerika Serikat menekankan pada operant conditioning yang menciptakan sebuah pendekatan fungsional untuk penilaian dan intervensi berfokus pada pengelolaan kontingensi seperti ekonomi dan aktivasi perilaku, sedangkan pada dimensi kognitif pada pendekatan ini dideskripsikan dengan baik.
Ellis menegaskan bahwa usaha palling awal untuk bekerja dengan klien dalam metode kognitif terdapat dalam bidang terapi seks. Baik Ellis, penemu terapi rasional emosional, maupun Beck penemu terapi kognitif memulai karier terapeutik mereka sebagai psikoanalisis. Keduanya kemudian merasa kurang puas dengan metode psikoanalisis, dan mereka menjadi lebih sadar akan nilai penting dari cara klien memikirkan diri mereka sendiri. Kisah perpindahannya kepada perspektif terapi kognitif dikisahkan oleh Beck dalam bukunya Cognitive Therapy and Emotional Disorder.
Beck (dalam Corey) mendeskripsikan kognisi kritik diri ini sebagai “pemikiran otomatis” dan mulai memandang mereka sebagai salah satu kunci menuju terapi yang sukses. Kesulitan emosional dan perilaku yang dialami oleh seorang dalam hidup mereka tidak secara langsung diakhiri  oleh sebuah peristiwa, tetapi oleh cara mereka menginteprestasikan  dan memahami berbagai peristiwa tersebut. Walaupun Beck seorang psikoanalisis namun ia menemukan ketertarikannya kepada kognisi yang semakin tumbuh mengarahkannya untuk menjauh dari psikoanalisis kearah terapi perilaku. Dia menyatakan bahwa beberapa kemiripan antara pendekatan kognitif dan behavioral, keduanya menggunakan pendekatan yang terstruktur, dan pengurangan pemecahan masalah, dengan gaya terapis yang sangat aktif, dan keduanya sama-sama lebih menekankan kekinian dan kesegaran dari pada “rekonstruksi spekulatif hubungan masa kecil dan hubungan keluarga di masa awal pasien”.
Satu dekade kemudian, Albert Ellist juga mengikuti jalan yang sama, juga dididik dalam psikoanalisis, dia telah mengembangkan gaya terapeutik yang dikarakterisasikan dengan tantangan dan konfrontasi tingkat tinggi yang didesain untuk memungkinkan klien untuk menguji pemikiran “keyakinan rasional”. Ellis berpendapat bahwa masalah emosional disebabkan oleh “pemikiran zig-zag” yang timbul dari sikap memandang hidup dalam kerangka “harus” dan “wajib”. Ketika seseorang mengalami suatu hubungan, misalnya yang bersifat absolute dan berlebih-lebihan, maka orang tersebut dapat saja bertindak berdasarkan keyakinan yang diinternalisasikan dan irasioanal. Keyakinan yang irasional akan mengarah kepada katastopisasi , dan merasa cemas atau depresi apabila sedikit saja ada kesalahan dalam hubungan tersebut. Pernyataan keyakinan yang lebih rasioanl membuat orang tersebut mampu menghadapi permasalahan yang timbul  dalam hubungan dengan cara lebih konstruktif dan berimbang.
Pendiri/Pengembang Utama
Aaron Temkin Beck lahir di Providence, Rhode Island. Ia melalui masa kecil yang sulit. Menurut Weishaar  (dalam Corey: 2009:274) pada awal sekolah ia menderita penyakit yang parah, dan beberapa tahun ke depan ia mampu mengatasinya dengan kelompok sebayanya. Sepanjang hidupnya ia berjuang dengan berbagai ketakutan seperti : takut pada darah, sesak napas, fobia pada tempat gelap (terowongan), kecemasan tentang kesehatannya, dan kecemasan berbicara di depan umum. Masalah pribadi yang dialami inilah yang menjadi dasar pemahamannya untuk mengembangkan teorinya.
Beck merupakan lulusan dari Universitas Brown dan Yale School of Medicine. Pada awalnya Beck melakukan praktik sebagai ahli saraf, tetapi  ia beralih ke psikiatri. Beck adalah tokoh perintis dari terapi kognitif, salah satu dari orang yang berpengaruh dan pendekatan psikoterapinya yang didasarkan pada hasil yang empirik. Kontribusi konseptualnya dianggap paling berarti di bidang psikiatri dan psikoterapi menurut Padesky (dalam Corey: 2009 : 274).
Beck mencoba untuk mensahihkan teori Freud tentang depresi, tetapi penelitiannya menghasilkan perpisahannya dengan Freud karena ada perbedaan dalam penjelasan mengenai depresi sebagai bentuk langsung dari agresi. Sebagai hasil dari keputusannya inilah dalam beberapa tahun ia menjadi terisolasi dan mendapat penolokan dari komunitas psikiatri. Melalui penelitiannya, Beck mengembangkan teori kognitif tentang depresi, yang mewakili salah satu konseptualisasinya yang  paling komprehensif. Dia menemukan kognisi orang depresi ditandai dengan kesalahan dalam logika yang ia sebut "kognitif terdistorsi”. Menurutnya, pikiran negatif inilah yang mendasari munculnya gangguan pada keyakinan (keyakinan disfungsional) dan persepsi (anggapan).
Ketika keyakinan ini dipicu oleh peristiwa situasional, lalu pola depresi dimasukkan dalam perilakunya. Beck percaya bahwa klien dapat melakukan peran aktif dalam memodifikasi pemikiran disfungsional mereka, dengan demikian mereka  bisa terbebas dari kondisi kejiwaan mereka. Kemudian, ia melanjutkan penelitiannya dibidang psikopatologi, dan penggunaan terapi kognitifnya membuatnya mendapatkan posisi yang baik dalam scientific community di Amerika Serikat.
Beck bergabung dengan Departemen Psikiatri dari University of Pennsylvania pada tahun 1954, di mana ia saat ini memegang posisi Profesor (Emeritus) dari Psikiatri. Penelitan Beck merupakan perintis keberfungsian terapi kognitif untuk menangani depresi. Dia berhasil menerapkan terapi kognitif untuk depresi, gangguan kecemasan umum dan panik, bunuh diri, alkoholisme, penyalahgunaan obat, gangguan makan, masalah hubungan perkawinan, gangguan psikotik, dan gangguan kepribadian. Dia telah mengembangkan assesment scales untuk  depresi, bunuh diri, kecemasan, konsep diri, dan kepribadian.
Dia adalah pendiri Beck Institute, yang merupakan pusat penelitian dan pelatihan  yang diarahkan oleh salah satu dari empat anak-anaknya yakni Dr. Judith Beck. Dia memiliki delapan cucu dan telah menikah selama lebih dari 50 tahun. Aaron Beck berfokus pada pengembangan keterampilan dalam melakukan terapi kognitif kapda ratusan dokter di seluruh dunia. Pada gilirannya, mereka telah mendirikan pusat terapi kognitif. Beck memiliki visi pada komunitas terapi kognitif yang mendunia dan bersifat inklusif, kolaboratif, memberdayakan, dan menyandarkan pada kebaikan dan ketulusan. Dia selalu aktif menulis dan melakukan penelitian. Saat ini ia telah menerbitkan 17 buku dan lebih dari 450 artikel dan bab buku (Padesky dalam Corey, 2009: 274).
Konsep Dasar
Macam-macam Distorsi Kognitif,
1.      Arbitary Inference : mengacu pada pembuatan kesimpulan tanpa melihat bukti yang tepat/relevan. Hal tesebut dapat digolongkan sebagai  "catastrophizing," atau berpikir mutlak bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk pada hampir semua situasi. Contohnya seperti anda merasa bahwa Anda tidak pantas menjadi seorang konselor karena Anda berpikir bahwa ketika anda menyelesaikan progam studi Anda menipu dosen Anda sehingga Anda lulus. Anda merasa diri anda tidak pantas dihargai dan disukai oleh orang lain.
2.      Selection Abstraction: membentuk kesimpulan yang didasarkan pada peristiwa yang menyakitkan saja. Dalam proses ini informasi lainnya diabaikan, dan sesuatu yang penting justru hilang total. Asumsinya adalah bahwa semua peristiwa yang terjadi berkaitan dengan kegagalan dan kerugian. Contohnya ialah Anda selalu menilai hal yang buruk dari diri anda tanpa pernah mau melihat kelebihan yang anda miliki.
3.      Overgeneralization adalah sebuah proses dimana seseorang memiliki keyakinan yang ekstrim atas dasar insiden tertentu dan kemudian menggeneralisasikannya pada semua peristiwa yang ia alami, meskipun perisitiwa tersebut berbeda dari peristiwa yang pernah ia alami itu. Contohnya anda pernah dikecewakan dan dikhianati oleh seorang laki-laki, lalu anda menganggap semua laki-laki adalah orang yang senang mengecewakan dan mengkhianati.
4.      Magnification and Minimiztion:  membesar-besarkan dan atau mengecil-kecilkan suatu kasus dari kenyataan yang sebenarnya. Anda mungkin mengasumsikan bahwa ketika anda melakukan sebuah kesalahan kecil dalam proses konseling langsung berkeyakinan itu akan membuat kerusakan psikologis yang berat pada diri klien.
5.      Personalization: kecenderungan bagi individu untuk menghubungkan peristiwa dari luar dirinya ke dalam dirinya, bahkan ketika tidak ada dasar yang membuatnya memiliki hubungan. Jika klien tidak kembali untuk sesi konseling kedua, Anda mungkin benar-benar yakin bahwa ketidakhadiran ini adalah karena kinerja buruk Anda selama awal sesi. Anda mungkin mengatakan pada diri sendiri, "Situasi ini membuktikan bahwa saya benar-benar membiarkan klien tidak puas, dan mungkin sekarang dia tidak pernah mencari bantuan lagi. "
6.      Labeling and Mislabeling :  melibatkan gambaran identitas seseorang atas dasar ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dilakukan di masa lalu dan menjadikan itu sebagai identitas mereka yang sebenarnya. Jadi, jika Anda tidak mampu memenuhi semua harapan klien, Anda mungkin berkata kepada diri sendiri, "Aku benar-benar tidak berharga dan mencabut lisensi saya adalah jalan yang terbaik "
7.              Dichotomous Thingking: melibatkan pengkategorisasian pengalaman secara baik-atau ekstrem. Dengan pemikiran terpolarisasi seperti peristiwa diberi label dalam warna hitam atau putih. Contohnya Anda melihat diri Anda sepenuhnya baik dengan kompetensi konselor yang dimiliki bahkan sebaliknya yakni anda melihat diri Anda sebagai orang yang jahat dengan tidak memiliki kompetensi konselor yang seharusnya dimiliki.
Ansumsi  Tingkah Laku Sehat dan Bermasalah
Asumsi tingkah laku sehat menurut pendekatan  ini ialah bahwa individu dapat mengatur perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitifnya dan menentukan sendiri reinforcement yang diberikan kepada dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dijelaskan apabila dilihat dari ranah kognitif maka individu tersebut dapat mengubah pemikiran yang cenderung negatif. Apabila dilihat dari ranah behavioral yakni apabila individu dapat mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan,  belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik serta mampu berpikir secara lebih  jelas.
Asumsi tingkah laku bermasalah menurut pendekatan ini ialah bahwa individu mengalami distorsi kognitif yang mengarah pada perilaku maladaptif. Jadi individu berpikir hal yang kurang tepat, karena membuat kesimpulan yang salah atas dasar informasi yang tidak memadai atau tidak benar, dan gagal untuk membedakan antara fantasi dan kenyataan.

Hakikat dan Tujuan Konseling
            Hakikat konseling CBT adalah menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.
     Tujuan dari terapi Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak individu untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. CBT dalam pelaksanaan terapi lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif. Selain itu, tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavior Therapy diantaranya :
a.       Membangkitkan pikiran-pikiran negatif/berbahaya, dialog internal atau bicara sendiri (sweaf – talk)  dan interpretasi terhadap kejadian-kejadian yang dialami. Pikiran-pikiran negatif tersebut muncul secara otomatis, sering diluar kesadaran konseli, apabila menghadapi situasi stres atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku maladaptif yang menambah berat masalahnya.
b.      Terapis bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomatis sering didasarkan tas kesalahan logika, maka progam Cognitive Behavioral Therapy (CBT) diarahkan untuk membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien dilatih mengenali pikirannya,dan mendorong untuk menggunakan keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptif.
c.       Menyusun desain eksperimen (homework) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi dalam proses terapi.

Peran dan Fungsi Konselor
     Pada pendekatan kognitif behavioral, seorang konselor bersifat lebih menjadi pendengar yang sensitif dan empatik, ketika mendengarkan masalah konseli. Hubungan yang demikian akan memudahkan konselor mencari informasi dari konseli. Dengan menggunakan teori behavioral dan kognitif sebagai petunjuk, konselor mencari secara detail informasi mengenai masalah yang dialami oleh konseli, sehingga konselor dapat mengetahui bagaimana, kapan dan situasi ketika masalah itu terjadi.
Pada saat konseling, seorang konselor menggunakan pendekatan kognitif behavioral sangat jarang menggunakan kata “kenapa”, seperti “kenapa kamu cemas sebelum ujian?” atau “kenapa kamu stress saat bekerja?”. Biasanya seorang konselor lebih suka menggunakan kata “bagaimana”,”kapan”, “dimana”, dan “apa”, ketika mereka memahami faktor yang menjadi inti dari masalah konseli.
Tugas konselor kognitif behavioral adalah membantu konseli untuk bertindak seperti ilmuwan dalam menemukan validitas peta atau model pribadinya dan membuat pilihan berkenaan dengan elemen mana yang dipertahankan dan mana yang diubah. Konselor kognitif-behavioral biasanya akan menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli.

Tahap-Tahap Konseling
Menurut de Shazer (Seligman 2006) SFBT bisanya berlangsung dalam tujuh tahap:
1.      Identifying a solvable complaint
Mengidentifikasi keluhan yang bisa dipecahkan merupakan langkah awal yang penting dalam konseling.. Konselor mungkin bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda untuk membuat janji sekarang?” bukan “Apa masalah yang mengganggu Anda?” atau bertanya, “Apa yang ingin Anda ubah?” bukan “Bagaimana saya bantu?”
Konselor menggunakan empati, ringkasan, mengartikan, pertanyaan terbuka, dan keterampilan mendengarkan aktif untuk memahami situasi konseli dengan jelas dan spesifik. Konselor mungkin bertanya, “Bagaimana Anda mengalami kecemasan?” “Apa yang akan membantu saya untuk benar-benar memahami situasi ini?” dan “Bagaimana hal ini menciptakan masalah bagi Anda?”
2.      Establishing goals
Menetapkan tujuan melanjutkan proses konseling. Konselor berkolaborasi dengan konseli untuk menentukan tujuan yang spesifik, dapat diamati, diukur, dan konkret Tujuan biasanya mengambil salah satu dari tiga bentuk: mengubah dari situasi problematis; mengubah tampilan situasi atau kerangka acuan, dan mengakses sumber daya, solusi, dan kekuatan. Pertanyaan mengandaikan sukses: “Apa yang akan menjadi tanda pertama dari perubahan”, Bagaimana Anda akan tahu kapan terapi ini berguna bagi Anda”, Bagaimana saya bisa tahu?” Diskusi rinci perubahan positif didorong untuk memperoleh pandangan yang jelas dari apa yang terlihat seperti solusi ke konseli. Salah satu cara yang paling berguna untuk solusi yang berfokus pada klinisi untuk menetapkan tujuan terapi adalah dengan menggunakan pertanyaan keajaiban (miracle question).
3.      Designing an intervention
Ketika merancang intervensi, konselor menggambar pada pemahaman mereka tentang konseli dan penggunaan kreativitas strategi terapi untuk mendorong perubahan, tidak peduli seberapa kecil. Pertanyaan khas selama tahap ini termasuk “Perubahan apa yang telah terjadi?”, “Apa yang berhasil di masa lalu ketika Anda berurusan dengan situasi yang sama?”, “Bagaimana Anda membuat hal itu terjadi?”, dan “Apa yang akan Anda lakukan untuk memiliki itu terjadi lagi? “.
4.      Strategic task that promote change
Tugas strategis kemudian mempromosikan perubahan. Biasanya ini ditulis sehingga konseli dapat memahami dan menyetujuinya. Tugas secara hati-hati direncanakan untuk memaksimalkan kerja sama konseli dan sukses. Orang dipuji atas upaya keberhasilan dan kekuatan mereka untuk menggambar di dalam menyelesaikan tugas.
5.      Identifying dan emphazing new behavior and changes
Perilaku baru yang positif dan perubahan diidentifikasi serta ditekankan ketika konseli kembali setelah diberi tugas. Pertanyaan fokus pada perubahan, kemajuan, dan kemungkinan dan mungkin termasuk “Bagaimana Anda membuat hal itu terjadi?”, “Siapa yang melihat perubahan?”, dan “Bagaimana sesuatu yang berbeda ketika Anda melakukan itu?” Masalahnya dipandang sebagai “itu” atau “itu” dan sebagai eksternal untuk konseli; ini membantu orang melihat keprihatinan mereka sebagai setuju untuk berubah, bukan sebagai bagian integral dari diri mereka sendiri.
1.      Stabilization
Stabilisasi adalah penting dalam membantu orang mengkonsolidasikan keuntungan dan secara bertahap beralih perspektif ke arah yang lebih efektif dan penuh harapan. Selama tahap ini, konselor mungkin benar-benar menahan kemajuan dan kemunduran konseli. Ini memberikan orang waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan mereka, mempromosikan keberhasilan lebih lanjut, dan mencegah berkecil hati jika perubahan tidak terjadi secepat yang mereka inginkan.
2.        Termination
Pengakhiran konseling terjadi, sering diprakarsai oleh konseli yang kini telah mencapai tujuan mereka. Karena SFBT berfokus pada penyajian keluhan bukan resolusi masalah masa kecil atau perubahan kepribadian yang signifikan, ia mengakui bahwa orang dapat kembali untuk terapi tambahan, dan konseli diingatkan pilihan itu. Pada saat yang sama, SFBT tidak hanya berusaha untuk membantu orang menyelesaikan masalah segera. Melalui proses mengembangkan rasa percaya diri, merasa mendengar dan memuji bukan menyalahkan, dan menemukan kekuatan dan sumber daya, orang yang diterapi melalui SFBT dapat menjadi lebih mandiri dan mampu mengatasi kesulitan di masa depan mereka sendiri.
Menurut Corey (2009) secara umum prosedur atau tahapan pelaksanaan SFBT adalah:
a.       Para konseli diberikan kesempatan untuk memaparkan masalah-masalah mereka. Konselor mendengarkan dengan penuh perhatian dan cermat jawaban-jawaban konseli terhadap pertanyaan dari konselor “Bagaimana saya dapat membantu Anda?”
b.      Konselor bekerja dengan konseli dalam membangun tujuan-tujuan yang dibentuk secara spesifik dengan baik secepat mungkin. Pertanyaannya adalah “Apa yang menjadi berbeda dalam hidupmu ketika masalah-masalah Anda terselesaikan?”
c.       Konselor menanyakan konseli tentang kapan dan dimana masalah-masalah tersebut terasa tidak mengganggu atau saat masalah-masalah terasa agak ringan. Konseli dibantu untuk mengeksplor pengecualian-pengecualian ini, dengan penekanan yang khusus pada apa yang mereka lakukan untuk membuat keadaan/ peristiwa-peristiwa tersebut terjadi.
d.      Diakhir setiap sesi konseli membangun solusi-solusi (solution building), sementara konselor memberikan umpan balik (feedback), memberikan dorongan-dorongan, dan menyarankan apa yang konseli dapat amati atau lakukan sebelum sesi berikutnya untuk menyelesaikan masalah mereka.
e.       Bersama-sama dengan konseli, konselor mengevaluasi kemajuan yang telah didapat dalam mencapai solusi-solusi yang telah direncanakan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan rating scale.
Teknik Spesifik Konseling
Teknik terapi perilaku-kognitif menitikberatkan pada seperangkat latihan untuk membantu memodifikasi bentuk perilaku seseorang. Bentuk perilaku yang dimodifikasi harus membawa pada perubahan kepribadian yang positif. Berikut merupakan teknik spesifik yang dapat digunakan:
1.      Cognitive Rehearsal
Dalam teknik ini, konseli diminta untuk memanggil ulang (recall) peristiwa traumatik yang pernah dialaminya. Konselor dan konseli berkerja sama untuk menemukan solusi dari peristiwa traumatik yang dialami jika suatu saat terjadi lagi dapat dikendalikan. Konselor juga meminta konseli untuk bersabar dalam berlatih untuk memiliki pemikiran yang positif agar terjadi perubahan yang tepat. Teknik ini sangat baik apabila latihan yang dilakukan mengembangkan kekuatan imajinasi konseli.
2.      Validity Testing
Pada teknik ini konselor menggunakan alat ukur tes kognitif konseli. Konseli diperbolehkan untuk mempertahankan sudut pandangnya berdasarkan kebenaran fakta yang terjadi. Kesalahan dan ketidakvalidan dalam tingkat kepercayaan/kognitif konseli dikemukakan jika dia tidak mampu menghasilkan pemikiran berdasarkan kenyataan yang sebenarnya.


3.      Homework
Homework biasanya berisi sekumpulan tugas yang harus dilakukan konseli, tugas ini diberikan oleh konselor. Contohnya: konseli diminta membaca artikel atau buku,atau menceritakan kembali hasil yang ia peroleh dari ia mendengarkan radio.
4.      Systematic Positive Reinforcement
Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan penguatan yang positif setelah tingkah laku yang diinginkan ditampilkan serta bertujuan agar tingkah laku yang diinginkan cenderung diulang, dimunculkan kembali, diperkuat dan bahkan menetap di masa depan.
5.      Operant Conditioning
Terdapat 2 prinsip dalam operant conditioning yaitu bagaimana kebiasaan itu dipelajari dan teknik yang digunakan untuk memodifikasi tingkah laku. Penggunaan teknik operan kondisioning dapat digunakan oleh konselor jika tempat konselor sebaik dengan lingkungan tempat masalah konseli terjadi. Jika konseli merasakan adanya koneksi positif dengan konselor, maka dia akan menerima apa yang diarahkan oleh konselor. Konselor dapat menjadi seorang yang memberikan dukungan potensial untuk mengubah perilaku seorang individu. Konselor Behavioral memutuskan perilaku apa yang harus diubah dan jika teknik reinforcement sesuai dengan kondisi konseli maka konselor akan menggunakan teknik tersebut biasanya dengan dalam bentuk verbal.
6.      Desensitization
Terdapat empat langkah dalam melaksanakan metode Systematic Desensitization, yaitu :
a.         Memberikan konseli rasionalisasi
b.        Relaksasi training
c.         Konselor dan konseli bekerjasama dalam membangun bayangan tentang hirarki dan kecemasan
d.        Desensitization proper
Salah satu jenis dari systematic desensitization adalah in vivo desensitization. Jenis ini memilliki kesamaan prosedur dalam penanganan kecuali masalah hirarki kecemasan. Pada in vivo desensitization, konselor memegang penuh dalam penanganan hirarki kecemasan konseli.
7.      Flooding
Flooding adalah kebalikan dari systematic desensitization. Flooding menekankan kepada maksimalisasi kecemasan. Salah satu bentuk dari Flooding adalah in vivo flooding, yang sangat cocok jika digunakan untuk menghadapi Agoraphobics. Flooding adalah salah satu metode yang potensial dan memiliki tingkat resiko yang tinggi. Jika metode ini dilakukan oleh konselor yang tidak berpengalaman akan menyebabkan seorang konseli merasa stress.
8.      Assertivness dan Social Skill Training
Ketika konselor sedang melakukan konseling kepada seorang konseli, kadang-kadang mereka segan untuk menunjukkan ekspresinya dan mereka tidak menjadi diri mereka yang sebenarnya. Dalam hal ini keahlian seorang konselor behavioral-kognitif di uji. Salah satu strategi yang sering digunakan adalah behavioral rehearsal. Strategi ini berupa upaya konselor membantu konseli dengan cara bermain peran. Konselor pada strategi ini berperan sebagai seseorang yang berpengaruh terhadap konseli.
9.      Participant Modeling
Participant Modeling efektif jika digunakan untuk menelong seseorang yang mengalami kecemasan yang bersifat tidak menentu dan sangat baik digunakan ketika menolong seseorang yang mengalami ketakutan sosial (social phobia). Terdapat beberapa langkah yang diperlukan untuk dapat melakukan Participant Modeling secara baik, yaitu yang pertama mengajarkan kepada konseli teknik relaksasi seperti mengambil nafas yang dalam. Langkah kedua, konselor dan klien berjalan bersama dan konseli sambil mengambil nafas dalam. Langkah terakhir konseli mempraktekan apa yang telah dia pelajari. Dalam setiap langkah diatas konselor hendaknya melakukan dukungan yang positif kepada setiap perilaku konseli dengan cara pujian.
10.    Self Control Procedures
Metode self control bertujuan untuk membantu konseli mengontrol dirinya sendiri. Metode self control menegaskan bahwa konseli adalah sebagai agen aktif yang dapat mengatasi dan menggunakan pengendalian secara efektif dalam kondisi mengalami masalah. Metode ini paling tepat digunakan dalam kondisi dimana lingkungan terdapat penguatan jangkan panjang secara natural.
Terdapat tiga langkah bagian dalam self control procedures, yaitu:
a.             Meminta konseli secara teliti memperhatikan kebiasaannya
b.            Meminta kejelasan target / tujuan yang ingin dicapai
c.             Melaksanakan treatment
11.  Contigency Contracting
Contigency Contracting adalah bentuk dari manajemen behavioral dimana hadiah dan hukuman untuk perilaku yang diinginkan dan perilaku yang tidak dapat dihindari terbentuk. Konselor dan konseli bekerjasama untuk mengidentifikasi perilaku yang perlu dirubah. Saat penilaian, konselor dan konseli memutuskan siapa yang memberikan penguatan dan berupa apa penguatan tersebut. Treatment dapat berlangsung dengan menggunakan konseli sendiri atau orang lain. Penguatan dapat diberikan setiap tujuan perilaku yang ingin dibentuk termanifestasi. Setelah hal itu terjadi, konseli bisa mendapatkan hadiah atau hukuman. Hadiah akan diberikan jika perilaku yang diinginkan tercapai dan hukuman diberikan jika perilaku yang tidak diinginkan muncul.
12.  Computer Assisted Therapy
Salah satu metode yang digunakan dalam terapi kognitif-perilaku melalui progam komputer. Terapi ini dilakukan untuk mengurangi sesi konseling yang cukup lama.
13.  Cognitive Restructuring
Metode ini agak berbeda dengan metode yang lain, karena metode ini menginginkan perubahan kognitif tidak seperti metode lain yang berakhir ketika adanya perubahan perilaku. Meichenbaum dan Deffenbacher menjelaskan “cognitions may be in the form of cognitive events, cognitive processes, cognitive structures, or all these.” Peristiwa kognitif dapat berupa apa yang konseli katakan tentang dirinya sendiri, bayangan yang mereka miliki, apa yang mereka sadari dan rasakan. Proses kognitif berupa proses pemrosesan informasi. Struktur kognitif berupa anggaran dan kepercayaan tentang dirinya sendiri dan dunia yang berhubungan dengan dirinya.

Kelemahan dan Kelebihan
Kelemahan Pendekatan CBT meliputi :
1.      Pendekatan kognitif behavior menuntut konselor atau terapis memiliki level pemahaman, pengetahuan, keterampilan, dan sudut pandang yang tinggi yang diperoleh dari adanya pelatihan. Terapi kognitif-perilaku karena teralalu mengandalkan pikiran yang positif sehingga menjadi terlalu dangkal dan sederhana.
2.      Ketidakberhasilan dalam menjalin hubungan yang bersifat terapeutik.
3.      Bekerja hanya dengan mengesampingkan gejala-gejala yang muncul, namun juga gagal dalam mengeksplorasi penyebab dari munculnya masalah.
4.      Menolak adanya faktor pengaruh alam bawah sadar.
5.      Melupakan peranan perasaan dalam proses konseling.
6.      Menolak masa lalu klien
7.      Terlalu berorientasi teknik
8.      Tidak mendalam
9.      Membutuhkan kemampuan berfikir abstrak
10.  Menjadi terlalu banyak aturan/preskriptif dan mengabaikan faktor individu
Kelebihan Pendekatan CBT adalah
1.      Dapat mengukur kemampuan interpersonal dan kemampuan sosial seseorang
2.      Aplikasi luas
3.      Menyediakan rancangan terstruktur dan rapi
4.      Mengutamakan aspek pikiran
5.      Membangun keterampilan sosial seseorang
6.      Keterampilan komunikasi atau bersosialisasi
7.      Pelatihan ketegasan
8.      Keterampilan meningkatkan hubungan
9.      Pelatihan resolusi konflik dan manajemen agresi
10.  Tidak berfokus pada satu sisi saja (tidak hanya perilaku) tetapi juga dalam kognitif seseorang


0 komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan pesan. saya harap kita bisa berteman. semoga blog ini bermanfaat, amin : )