3.Konseling
Kognitif Behavior
Dengan
metode dan konsep yang khas, kognitif behavior mempresentasikan pendekatan
konseling yang penting. Pendekatan ini bersumber pada pskologi behavior dan
memiliki tiga karakteristik : pemecahan
masalah (problem solving), pendekatan perubahan terfokus ( change focused
approach) untuk menghadapi klien, penghormatan terhadap nilai alamiah; dan
memiliki perhatian yang lebih terhadap proses kognitif—alat untuk mengontrol
dan memonitor perilaku mereka.
Aaron
T. Beck mengembangkan pendekatan yang dikenal sebagai terapi kognitif (CT)
sebagai hasil dari penelitiannya tentang depresi. Dia mendefinisikan CBT
sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan
konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan
perilaku yang menyimpang. Pensdekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif,
keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan
pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola
perilaku konseli.
Pendekatan kognitif-behavioral merepresentasikan
keterbukaan ilmiah dari pada aliran besar terapi lainnya. Dimensi behavioral
dalam pendekatan kognitif behavioral bersumber dari psikologi behavioral, yang
diketahui secara luas, diciptakan oleh J.B Watson, khususnya melalui publikasi Psychology from the Standpoint of
a Behaviourist pada 1919. Watson dkk selama 1920 melakukan pengkondisian (conditioning) dan pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa takut,
merupakan cikal bakal terapi perilaku formal. Pada tahun 1927, Ivan Pavlov
terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan memakai suara bell untuk mengkondisikan
anjing bahwa bell sama dengan makanan,
yang kemudian dikenal juga sebagai Stimulus
dan Respon.
Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun
1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C.
Salomo. Selain itu termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck. Secara umum,
terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika
Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing
memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang
masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian,
lingkungan, dan perilaku. Skinner dkk. di Amerika Serikat menekankan pada operant conditioning yang menciptakan
sebuah pendekatan fungsional untuk penilaian dan intervensi berfokus pada
pengelolaan kontingensi seperti ekonomi dan aktivasi perilaku, sedangkan pada
dimensi kognitif pada pendekatan ini dideskripsikan dengan baik.
Ellis menegaskan bahwa usaha palling awal untuk
bekerja dengan klien dalam metode kognitif terdapat dalam bidang terapi seks.
Baik Ellis, penemu terapi rasional emosional, maupun Beck penemu terapi
kognitif memulai karier terapeutik mereka sebagai psikoanalisis. Keduanya
kemudian merasa kurang puas dengan metode psikoanalisis, dan mereka menjadi
lebih sadar akan nilai penting dari cara klien memikirkan diri mereka sendiri.
Kisah perpindahannya kepada perspektif terapi kognitif dikisahkan oleh Beck
dalam bukunya Cognitive Therapy and
Emotional Disorder.
Beck (dalam Corey) mendeskripsikan kognisi kritik
diri ini sebagai “pemikiran otomatis”
dan mulai memandang mereka sebagai salah satu kunci menuju terapi yang sukses.
Kesulitan emosional dan perilaku yang dialami oleh seorang dalam hidup mereka
tidak secara langsung diakhiri oleh
sebuah peristiwa, tetapi oleh cara mereka menginteprestasikan dan memahami berbagai peristiwa tersebut.
Walaupun Beck seorang psikoanalisis namun ia menemukan ketertarikannya kepada
kognisi yang semakin tumbuh mengarahkannya untuk menjauh dari psikoanalisis
kearah terapi perilaku. Dia menyatakan bahwa beberapa kemiripan antara
pendekatan kognitif dan behavioral, keduanya menggunakan pendekatan yang
terstruktur, dan pengurangan pemecahan masalah, dengan gaya terapis yang sangat
aktif, dan keduanya sama-sama lebih menekankan kekinian dan kesegaran dari pada
“rekonstruksi spekulatif hubungan masa
kecil dan hubungan keluarga di masa awal pasien”.
Satu dekade kemudian, Albert Ellist juga mengikuti
jalan yang sama, juga dididik dalam psikoanalisis, dia telah mengembangkan gaya
terapeutik yang dikarakterisasikan dengan tantangan dan konfrontasi tingkat
tinggi yang didesain untuk memungkinkan klien untuk menguji pemikiran “keyakinan rasional”. Ellis berpendapat
bahwa masalah emosional disebabkan oleh “pemikiran zig-zag” yang timbul dari
sikap memandang hidup dalam kerangka “harus” dan “wajib”. Ketika seseorang
mengalami suatu hubungan, misalnya yang bersifat absolute dan berlebih-lebihan,
maka orang tersebut dapat saja bertindak berdasarkan keyakinan yang
diinternalisasikan dan irasioanal. Keyakinan yang irasional akan mengarah
kepada katastopisasi , dan merasa cemas atau depresi apabila sedikit saja ada
kesalahan dalam hubungan tersebut. Pernyataan keyakinan yang lebih rasioanl
membuat orang tersebut mampu menghadapi permasalahan yang timbul dalam hubungan dengan cara lebih konstruktif
dan berimbang.
Aaron Temkin Beck lahir di Providence, Rhode Island.
Ia melalui masa kecil yang sulit. Menurut Weishaar (dalam Corey: 2009:274) pada awal sekolah ia
menderita penyakit yang parah, dan beberapa tahun ke depan ia mampu
mengatasinya dengan kelompok sebayanya. Sepanjang hidupnya ia berjuang dengan
berbagai ketakutan seperti : takut pada darah, sesak napas, fobia pada tempat
gelap (terowongan), kecemasan tentang kesehatannya, dan kecemasan berbicara di
depan umum. Masalah pribadi yang dialami inilah yang menjadi dasar pemahamannya
untuk mengembangkan teorinya.
Beck merupakan lulusan dari Universitas Brown dan
Yale School of Medicine. Pada awalnya Beck melakukan praktik sebagai ahli
saraf, tetapi ia beralih ke psikiatri. Beck
adalah tokoh perintis dari terapi kognitif, salah satu dari orang yang
berpengaruh dan pendekatan psikoterapinya yang didasarkan pada hasil yang
empirik. Kontribusi konseptualnya dianggap paling berarti di bidang psikiatri
dan psikoterapi menurut Padesky (dalam Corey: 2009 : 274).
Beck mencoba untuk mensahihkan teori Freud tentang depresi,
tetapi penelitiannya menghasilkan perpisahannya dengan Freud karena ada
perbedaan dalam penjelasan mengenai depresi sebagai bentuk langsung dari agresi.
Sebagai hasil dari keputusannya inilah dalam beberapa tahun ia menjadi
terisolasi dan mendapat penolokan dari komunitas psikiatri. Melalui
penelitiannya, Beck mengembangkan teori kognitif tentang depresi, yang mewakili
salah satu konseptualisasinya yang paling komprehensif. Dia menemukan kognisi
orang depresi ditandai dengan kesalahan dalam logika yang ia sebut
"kognitif terdistorsi”. Menurutnya, pikiran negatif inilah yang mendasari
munculnya gangguan pada keyakinan (keyakinan disfungsional) dan persepsi
(anggapan).
Ketika keyakinan ini dipicu oleh peristiwa situasional,
lalu pola depresi dimasukkan dalam perilakunya. Beck percaya bahwa klien dapat
melakukan peran aktif dalam memodifikasi pemikiran disfungsional mereka, dengan
demikian mereka bisa terbebas dari
kondisi kejiwaan mereka. Kemudian, ia melanjutkan penelitiannya dibidang
psikopatologi, dan penggunaan terapi kognitifnya membuatnya mendapatkan posisi
yang baik dalam scientific community
di Amerika Serikat.
Beck bergabung dengan Departemen Psikiatri dari University
of Pennsylvania pada tahun 1954, di mana ia saat ini memegang posisi Profesor (Emeritus) dari Psikiatri. Penelitan Beck
merupakan perintis keberfungsian terapi kognitif untuk menangani depresi. Dia
berhasil menerapkan terapi kognitif untuk depresi, gangguan kecemasan umum dan
panik, bunuh diri, alkoholisme, penyalahgunaan obat, gangguan makan, masalah
hubungan perkawinan, gangguan psikotik, dan gangguan kepribadian. Dia telah
mengembangkan assesment scales
untuk depresi, bunuh diri, kecemasan,
konsep diri, dan kepribadian.
Dia adalah pendiri Beck Institute, yang merupakan
pusat penelitian dan pelatihan yang diarahkan
oleh salah satu dari empat anak-anaknya yakni Dr. Judith Beck. Dia memiliki
delapan cucu dan telah menikah selama lebih dari 50 tahun. Aaron Beck berfokus pada
pengembangan keterampilan dalam melakukan terapi kognitif kapda ratusan dokter
di seluruh dunia. Pada gilirannya, mereka telah mendirikan pusat terapi
kognitif. Beck memiliki visi pada komunitas terapi kognitif yang mendunia dan
bersifat inklusif, kolaboratif, memberdayakan, dan menyandarkan pada kebaikan
dan ketulusan. Dia selalu aktif menulis dan melakukan penelitian. Saat ini ia telah
menerbitkan 17 buku dan lebih dari 450 artikel dan bab buku (Padesky dalam
Corey, 2009: 274).
Macam-macam Distorsi Kognitif,
1.
Arbitary Inference
: mengacu pada pembuatan kesimpulan tanpa melihat bukti yang tepat/relevan. Hal
tesebut dapat digolongkan sebagai "catastrophizing," atau berpikir
mutlak bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk pada hampir semua situasi.
Contohnya seperti anda merasa bahwa Anda tidak pantas menjadi seorang konselor
karena Anda berpikir bahwa ketika anda menyelesaikan progam studi Anda menipu
dosen Anda sehingga Anda lulus. Anda merasa diri anda tidak pantas dihargai dan
disukai oleh orang lain.
2.
Selection Abstraction: membentuk kesimpulan yang didasarkan pada peristiwa
yang menyakitkan saja. Dalam proses ini informasi lainnya diabaikan, dan
sesuatu yang penting justru hilang total. Asumsinya adalah bahwa semua
peristiwa yang terjadi berkaitan dengan kegagalan dan kerugian. Contohnya ialah
Anda selalu menilai hal yang buruk dari diri anda tanpa pernah mau melihat
kelebihan yang anda miliki.
3.
Overgeneralization
adalah sebuah proses dimana seseorang memiliki keyakinan yang ekstrim atas
dasar insiden tertentu dan kemudian menggeneralisasikannya pada semua peristiwa
yang ia alami, meskipun perisitiwa tersebut berbeda dari peristiwa yang pernah
ia alami itu. Contohnya anda pernah dikecewakan dan dikhianati oleh seorang
laki-laki, lalu anda menganggap semua laki-laki adalah orang yang senang mengecewakan
dan mengkhianati.
4.
Magnification and Minimiztion: membesar-besarkan
dan atau mengecil-kecilkan suatu kasus dari kenyataan yang sebenarnya. Anda
mungkin mengasumsikan bahwa ketika anda melakukan sebuah kesalahan kecil dalam
proses konseling langsung berkeyakinan itu akan membuat kerusakan psikologis
yang berat pada diri klien.
5.
Personalization:
kecenderungan bagi individu untuk menghubungkan peristiwa dari luar dirinya ke
dalam dirinya, bahkan ketika tidak ada dasar yang membuatnya memiliki hubungan.
Jika klien tidak kembali untuk sesi konseling kedua, Anda mungkin benar-benar
yakin bahwa ketidakhadiran ini adalah karena kinerja buruk Anda selama awal
sesi. Anda mungkin mengatakan pada diri sendiri, "Situasi ini membuktikan
bahwa saya benar-benar membiarkan klien tidak puas, dan mungkin sekarang dia
tidak pernah mencari bantuan lagi. "
6.
Labeling and Mislabeling : melibatkan gambaran
identitas seseorang atas dasar ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dilakukan
di masa lalu dan menjadikan itu sebagai identitas mereka yang sebenarnya. Jadi,
jika Anda tidak mampu memenuhi semua harapan klien, Anda mungkin berkata kepada
diri sendiri, "Aku benar-benar tidak berharga dan mencabut lisensi saya
adalah jalan yang terbaik "
7.
Dichotomous Thingking: melibatkan pengkategorisasian pengalaman secara
baik-atau ekstrem. Dengan pemikiran terpolarisasi seperti peristiwa diberi
label dalam warna hitam atau putih. Contohnya Anda melihat diri Anda sepenuhnya
baik dengan kompetensi konselor yang dimiliki bahkan sebaliknya yakni anda
melihat diri Anda sebagai orang yang jahat dengan tidak memiliki kompetensi
konselor yang seharusnya dimiliki.
Asumsi tingkah laku sehat menurut pendekatan ini ialah bahwa individu dapat mengatur
perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitifnya dan menentukan
sendiri reinforcement yang diberikan
kepada dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dijelaskan apabila dilihat dari
ranah kognitif maka individu tersebut dapat mengubah pemikiran yang cenderung negatif.
Apabila dilihat dari ranah behavioral yakni apabila individu dapat mengubah
hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi
permasalahan, belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik serta mampu berpikir
secara lebih jelas.
Asumsi tingkah laku bermasalah menurut pendekatan
ini ialah bahwa individu mengalami distorsi kognitif yang mengarah pada
perilaku maladaptif. Jadi individu berpikir hal yang kurang tepat, karena membuat
kesimpulan yang salah atas dasar informasi yang tidak memadai atau tidak benar,
dan gagal untuk membedakan antara fantasi dan kenyataan.
Hakikat
konseling CBT adalah menitik beratkan
pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian
yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke
masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah
cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli
belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek
behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih
jelas.
Tujuan
dari terapi Cognitive-Behavior
(Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak individu untuk menentang pikiran dan emosi
yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan
mereka tentang masalah yang dihadapi. CBT dalam pelaksanaan terapi lebih
menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti
mengabaikan masa lalu. CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini
untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.
Selain itu, tujuan utama dalam teknik Cognitive
Behavior Therapy diantaranya :
a.
Membangkitkan
pikiran-pikiran negatif/berbahaya, dialog internal atau bicara sendiri (sweaf –
talk) dan interpretasi terhadap
kejadian-kejadian yang dialami. Pikiran-pikiran negatif tersebut muncul secara
otomatis, sering diluar kesadaran konseli, apabila menghadapi situasi stres
atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku
maladaptif yang menambah berat masalahnya.
b.
Terapis bersama
klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi yang telah
diambil. Oleh karena pikiran otomatis sering didasarkan tas kesalahan logika,
maka progam Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) diarahkan untuk membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif.
Pasien dilatih mengenali pikirannya,dan mendorong untuk menggunakan
keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur
kognitif yang maladaptif.
c.
Menyusun desain
eksperimen (homework) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data
tambahan untuk diskusi dalam proses terapi.
Pada
pendekatan kognitif behavioral, seorang konselor bersifat lebih menjadi
pendengar yang sensitif dan empatik, ketika mendengarkan masalah konseli.
Hubungan yang demikian akan memudahkan konselor mencari informasi dari konseli.
Dengan menggunakan teori behavioral dan kognitif sebagai petunjuk, konselor
mencari secara detail informasi mengenai masalah yang dialami oleh konseli,
sehingga konselor dapat mengetahui bagaimana, kapan dan situasi ketika masalah
itu terjadi.
Pada saat konseling, seorang konselor menggunakan
pendekatan kognitif behavioral sangat jarang menggunakan kata “kenapa”, seperti “kenapa kamu cemas sebelum ujian?” atau “kenapa kamu stress saat bekerja?”.
Biasanya seorang konselor lebih suka menggunakan kata “bagaimana”,”kapan”, “dimana”, dan “apa”, ketika mereka memahami
faktor yang menjadi inti dari masalah konseli.
Tugas konselor kognitif behavioral adalah membantu
konseli untuk bertindak seperti ilmuwan dalam menemukan validitas peta atau
model pribadinya dan membuat pilihan berkenaan dengan elemen mana yang
dipertahankan dan mana yang diubah. Konselor kognitif-behavioral biasanya akan
menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku
sasaran dengan konseli.
Menurut de Shazer
(Seligman 2006) SFBT bisanya berlangsung dalam tujuh tahap:
1. Identifying
a solvable complaint
Mengidentifikasi
keluhan yang bisa dipecahkan merupakan langkah awal yang penting dalam
konseling.. Konselor mungkin bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda untuk membuat
janji sekarang?” bukan “Apa masalah yang mengganggu Anda?” atau bertanya, “Apa
yang ingin Anda ubah?” bukan “Bagaimana saya bantu?”
Konselor menggunakan
empati, ringkasan, mengartikan, pertanyaan terbuka, dan keterampilan
mendengarkan aktif untuk memahami situasi konseli dengan jelas dan spesifik.
Konselor mungkin bertanya, “Bagaimana Anda mengalami kecemasan?” “Apa yang akan
membantu saya untuk benar-benar memahami situasi ini?” dan “Bagaimana hal ini
menciptakan masalah bagi Anda?”
2.
Establishing goals
Menetapkan tujuan
melanjutkan proses konseling. Konselor berkolaborasi dengan konseli untuk
menentukan tujuan yang spesifik, dapat diamati, diukur, dan konkret Tujuan
biasanya mengambil salah satu dari tiga bentuk: mengubah dari situasi
problematis; mengubah tampilan situasi atau kerangka acuan, dan mengakses
sumber daya, solusi, dan kekuatan. Pertanyaan mengandaikan sukses: “Apa yang
akan menjadi tanda pertama dari perubahan”, Bagaimana Anda akan tahu kapan
terapi ini berguna bagi Anda”, Bagaimana saya bisa tahu?” Diskusi rinci
perubahan positif didorong untuk memperoleh pandangan yang jelas dari apa yang
terlihat seperti solusi ke konseli. Salah satu cara yang paling berguna untuk
solusi yang berfokus pada klinisi untuk menetapkan tujuan terapi adalah dengan
menggunakan pertanyaan keajaiban (miracle question).
3.
Designing an intervention
Ketika merancang
intervensi, konselor menggambar pada pemahaman mereka tentang konseli dan
penggunaan kreativitas strategi terapi untuk mendorong perubahan, tidak peduli
seberapa kecil. Pertanyaan khas selama tahap ini termasuk “Perubahan apa yang
telah terjadi?”, “Apa yang berhasil di masa lalu ketika Anda berurusan dengan
situasi yang sama?”, “Bagaimana Anda membuat hal itu terjadi?”, dan “Apa yang
akan Anda lakukan untuk memiliki itu terjadi lagi? “.
4. Strategic
task that promote change
Tugas strategis
kemudian mempromosikan perubahan. Biasanya ini ditulis sehingga konseli dapat
memahami dan menyetujuinya. Tugas secara hati-hati direncanakan untuk
memaksimalkan kerja sama konseli dan sukses. Orang dipuji atas upaya
keberhasilan dan kekuatan mereka untuk menggambar di dalam menyelesaikan tugas.
5.
Identifying dan emphazing new behavior
and changes
Perilaku baru yang
positif dan perubahan diidentifikasi serta ditekankan ketika konseli kembali
setelah diberi tugas. Pertanyaan fokus pada perubahan, kemajuan, dan
kemungkinan dan mungkin termasuk “Bagaimana Anda membuat hal itu terjadi?”,
“Siapa yang melihat perubahan?”, dan “Bagaimana sesuatu yang berbeda ketika
Anda melakukan itu?” Masalahnya dipandang sebagai “itu” atau “itu” dan sebagai
eksternal untuk konseli; ini membantu orang melihat keprihatinan mereka sebagai
setuju untuk berubah, bukan sebagai bagian integral dari diri mereka sendiri.
1. Stabilization
Stabilisasi adalah
penting dalam membantu orang mengkonsolidasikan keuntungan dan secara bertahap
beralih perspektif ke arah yang lebih efektif dan penuh harapan. Selama tahap
ini, konselor mungkin benar-benar menahan kemajuan dan kemunduran konseli. Ini
memberikan orang waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan mereka,
mempromosikan keberhasilan lebih lanjut, dan mencegah berkecil hati jika
perubahan tidak terjadi secepat yang mereka inginkan.
2.
Termination
Pengakhiran konseling
terjadi, sering diprakarsai oleh konseli yang kini telah mencapai tujuan
mereka. Karena SFBT berfokus pada penyajian keluhan bukan resolusi masalah masa
kecil atau perubahan kepribadian yang signifikan, ia mengakui bahwa orang dapat
kembali untuk terapi tambahan, dan konseli diingatkan pilihan itu. Pada saat
yang sama, SFBT tidak hanya berusaha untuk membantu orang menyelesaikan masalah
segera. Melalui proses mengembangkan rasa percaya diri, merasa mendengar dan
memuji bukan menyalahkan, dan menemukan kekuatan dan sumber daya, orang yang
diterapi melalui SFBT dapat menjadi lebih mandiri dan mampu mengatasi kesulitan
di masa depan mereka sendiri.
Menurut Corey (2009) secara umum
prosedur atau tahapan pelaksanaan SFBT adalah:
a. Para
konseli diberikan kesempatan untuk memaparkan masalah-masalah mereka. Konselor
mendengarkan dengan penuh perhatian dan cermat jawaban-jawaban konseli terhadap
pertanyaan dari konselor “Bagaimana saya dapat membantu Anda?”
b. Konselor
bekerja dengan konseli dalam membangun tujuan-tujuan yang dibentuk secara
spesifik dengan baik secepat mungkin. Pertanyaannya adalah “Apa yang menjadi
berbeda dalam hidupmu ketika masalah-masalah Anda terselesaikan?”
c. Konselor
menanyakan konseli tentang kapan dan dimana masalah-masalah tersebut terasa
tidak mengganggu atau saat masalah-masalah terasa agak ringan. Konseli dibantu
untuk mengeksplor pengecualian-pengecualian ini, dengan penekanan yang khusus
pada apa yang mereka lakukan untuk membuat keadaan/ peristiwa-peristiwa
tersebut terjadi.
d. Diakhir
setiap sesi konseli membangun solusi-solusi (solution building), sementara
konselor memberikan umpan balik (feedback), memberikan dorongan-dorongan, dan
menyarankan apa yang konseli dapat amati atau lakukan sebelum sesi berikutnya
untuk menyelesaikan masalah mereka.
e. Bersama-sama
dengan konseli, konselor mengevaluasi kemajuan yang telah didapat dalam
mencapai solusi-solusi yang telah direncanakan. Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan rating scale.
Teknik terapi perilaku-kognitif menitikberatkan pada
seperangkat latihan untuk membantu memodifikasi bentuk perilaku seseorang.
Bentuk perilaku yang dimodifikasi harus membawa pada perubahan kepribadian yang
positif. Berikut merupakan teknik spesifik yang dapat digunakan:
1. Cognitive
Rehearsal
Dalam teknik ini, konseli diminta untuk memanggil ulang
(recall) peristiwa traumatik yang
pernah dialaminya. Konselor dan konseli berkerja sama untuk menemukan solusi
dari peristiwa traumatik yang dialami jika suatu saat terjadi lagi dapat
dikendalikan. Konselor juga meminta konseli untuk bersabar dalam berlatih untuk
memiliki pemikiran yang positif agar terjadi perubahan yang tepat. Teknik ini
sangat baik apabila latihan yang dilakukan mengembangkan kekuatan imajinasi
konseli.
2. Validity Testing
Pada teknik ini konselor menggunakan alat ukur tes
kognitif konseli. Konseli diperbolehkan untuk mempertahankan sudut pandangnya
berdasarkan kebenaran fakta yang terjadi. Kesalahan dan ketidakvalidan dalam
tingkat kepercayaan/kognitif konseli dikemukakan jika dia tidak mampu
menghasilkan pemikiran berdasarkan kenyataan yang sebenarnya.
3. Homework
Homework biasanya berisi sekumpulan tugas yang harus
dilakukan konseli, tugas ini diberikan oleh konselor. Contohnya: konseli
diminta membaca artikel atau buku,atau menceritakan kembali hasil yang ia
peroleh dari ia mendengarkan radio.
4. Systematic
Positive Reinforcement
Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan
penguatan yang positif setelah tingkah laku yang diinginkan ditampilkan serta
bertujuan agar tingkah laku yang diinginkan cenderung diulang, dimunculkan
kembali, diperkuat dan bahkan menetap di masa depan.
5. Operant
Conditioning
Terdapat 2 prinsip dalam operant conditioning yaitu bagaimana kebiasaan itu dipelajari dan
teknik yang digunakan untuk memodifikasi tingkah laku. Penggunaan teknik operan
kondisioning dapat digunakan oleh konselor jika tempat konselor sebaik dengan
lingkungan tempat masalah konseli terjadi. Jika konseli merasakan adanya
koneksi positif dengan konselor, maka dia akan menerima apa yang diarahkan oleh
konselor. Konselor dapat menjadi seorang yang memberikan dukungan potensial
untuk mengubah perilaku seorang individu. Konselor Behavioral memutuskan
perilaku apa yang harus diubah dan jika teknik reinforcement sesuai dengan kondisi konseli maka konselor akan
menggunakan teknik tersebut biasanya dengan dalam bentuk verbal.
6. Desensitization
Terdapat empat langkah dalam melaksanakan metode Systematic Desensitization, yaitu :
a.
Memberikan
konseli rasionalisasi
b.
Relaksasi
training
c.
Konselor dan
konseli bekerjasama dalam membangun bayangan tentang hirarki dan kecemasan
d.
Desensitization proper
Salah satu jenis dari systematic desensitization adalah in vivo desensitization. Jenis ini memilliki kesamaan prosedur
dalam penanganan kecuali masalah hirarki kecemasan. Pada in vivo desensitization, konselor memegang penuh dalam penanganan
hirarki kecemasan konseli.
7. Flooding
Flooding adalah kebalikan dari systematic desensitization. Flooding menekankan kepada
maksimalisasi kecemasan. Salah satu bentuk dari Flooding adalah in vivo
flooding, yang sangat cocok jika digunakan untuk menghadapi Agoraphobics. Flooding adalah salah satu
metode yang potensial dan memiliki tingkat resiko yang tinggi. Jika metode ini
dilakukan oleh konselor yang tidak berpengalaman akan menyebabkan seorang
konseli merasa stress.
8. Assertivness dan Social
Skill Training
Ketika konselor sedang melakukan konseling kepada
seorang konseli, kadang-kadang mereka segan untuk menunjukkan ekspresinya dan
mereka tidak menjadi diri mereka yang sebenarnya. Dalam hal ini keahlian
seorang konselor behavioral-kognitif di uji. Salah satu strategi yang sering
digunakan adalah behavioral rehearsal. Strategi ini berupa upaya konselor
membantu konseli dengan cara bermain peran. Konselor pada strategi ini berperan
sebagai seseorang yang berpengaruh terhadap konseli.
9. Participant
Modeling
Participant Modeling
efektif jika digunakan untuk menelong seseorang yang mengalami kecemasan yang
bersifat tidak menentu dan sangat baik digunakan ketika menolong seseorang yang
mengalami ketakutan sosial (social phobia).
Terdapat beberapa langkah yang diperlukan untuk dapat melakukan Participant
Modeling secara baik, yaitu yang pertama mengajarkan kepada konseli teknik
relaksasi seperti mengambil nafas yang dalam. Langkah kedua, konselor dan klien
berjalan bersama dan konseli sambil mengambil nafas dalam. Langkah terakhir
konseli mempraktekan apa yang telah dia pelajari. Dalam setiap langkah diatas
konselor hendaknya melakukan dukungan yang positif kepada setiap perilaku
konseli dengan cara pujian.
10.
Self Control Procedures
Metode self
control bertujuan untuk membantu konseli mengontrol dirinya sendiri. Metode
self control menegaskan bahwa konseli
adalah sebagai agen aktif yang dapat mengatasi dan menggunakan pengendalian
secara efektif dalam kondisi mengalami masalah. Metode ini paling tepat
digunakan dalam kondisi dimana lingkungan terdapat penguatan jangkan panjang
secara natural.
Terdapat
tiga langkah bagian dalam self control
procedures, yaitu:
a.
Meminta konseli
secara teliti memperhatikan kebiasaannya
b.
Meminta
kejelasan target / tujuan yang ingin dicapai
c.
Melaksanakan
treatment
11. Contigency
Contracting
Contigency Contracting adalah bentuk dari manajemen behavioral dimana
hadiah dan hukuman untuk perilaku yang diinginkan dan perilaku yang tidak dapat
dihindari terbentuk. Konselor dan konseli bekerjasama untuk mengidentifikasi
perilaku yang perlu dirubah. Saat penilaian, konselor dan konseli memutuskan
siapa yang memberikan penguatan dan berupa apa penguatan tersebut. Treatment
dapat berlangsung dengan menggunakan konseli sendiri atau orang lain. Penguatan
dapat diberikan setiap tujuan perilaku yang ingin dibentuk termanifestasi.
Setelah hal itu terjadi, konseli bisa mendapatkan hadiah atau hukuman. Hadiah
akan diberikan jika perilaku yang diinginkan tercapai dan hukuman diberikan
jika perilaku yang tidak diinginkan muncul.
12. Computer
Assisted Therapy
Salah satu metode yang digunakan dalam terapi
kognitif-perilaku melalui progam komputer. Terapi ini dilakukan untuk
mengurangi sesi konseling yang cukup lama.
13. Cognitive
Restructuring
Metode ini agak berbeda dengan metode yang lain,
karena metode ini menginginkan perubahan kognitif tidak seperti metode lain
yang berakhir ketika adanya perubahan perilaku. Meichenbaum dan Deffenbacher
menjelaskan “cognitions may be in the
form of cognitive events, cognitive processes, cognitive structures, or all
these.” Peristiwa kognitif dapat berupa apa yang konseli katakan tentang
dirinya sendiri, bayangan yang mereka miliki, apa yang mereka sadari dan
rasakan. Proses kognitif berupa proses pemrosesan informasi. Struktur kognitif
berupa anggaran dan kepercayaan tentang dirinya sendiri dan dunia yang berhubungan
dengan dirinya.
Kelemahan
Pendekatan CBT meliputi :
1.
Pendekatan
kognitif behavior menuntut konselor atau terapis memiliki level
pemahaman, pengetahuan, keterampilan, dan sudut pandang yang tinggi yang
diperoleh dari adanya pelatihan. Terapi kognitif-perilaku karena teralalu
mengandalkan pikiran yang positif sehingga menjadi terlalu dangkal dan
sederhana.
2.
Ketidakberhasilan
dalam menjalin hubungan yang bersifat terapeutik.
3.
Bekerja hanya
dengan mengesampingkan gejala-gejala yang muncul, namun juga gagal dalam
mengeksplorasi penyebab dari munculnya masalah.
4.
Menolak adanya
faktor pengaruh alam bawah sadar.
5.
Melupakan
peranan perasaan dalam proses konseling.
6.
Menolak masa
lalu klien
7.
Terlalu
berorientasi teknik
8.
Tidak mendalam
9.
Membutuhkan
kemampuan berfikir abstrak
10. Menjadi terlalu banyak aturan/preskriptif dan
mengabaikan faktor individu
Kelebihan
Pendekatan CBT adalah
1. Dapat
mengukur kemampuan interpersonal dan kemampuan sosial seseorang
2. Aplikasi
luas
3. Menyediakan
rancangan terstruktur dan rapi
4. Mengutamakan
aspek pikiran
5. Membangun
keterampilan sosial seseorang
6. Keterampilan
komunikasi atau bersosialisasi
7. Pelatihan
ketegasan
8. Keterampilan
meningkatkan hubungan
9. Pelatihan
resolusi konflik dan manajemen agresi
10. Tidak
berfokus pada satu sisi saja (tidak hanya perilaku) tetapi juga dalam kognitif
seseorang






0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan pesan. saya harap kita bisa berteman. semoga blog ini bermanfaat, amin : )