BAB I
1.1
Latar Belakang
Masalah adalah suatu hal yang menggangu dan harus diselesaikan. Dalam
menyeslesaikan suatu masalah diperlukan sebuah analisis mendalam mengenai
masalah tersebut. Analisis dilakukan dengan berbagi metode salah satunya adalah
studi kasus. Studi kasus adalah suatu teknik pengentasan masalah siswa
dengan melakkan pengamatan dan
penelitian mengenai masalah siswa secara mendalam. Studi kasus memberikan
pemahaman yang mendalam mengenai penyebab masalah, dampak masalah, dan metode
alternatif untuk memecahkan masalah. Menurut
Winkel (2004:660) tujuan studi kasus adalah mendalami individu secara mendalam
tentang perkembangan individu dan penyesuaianya terhadap lingkungan.
Kasus yang dipilih adalah kasus atau masalah yang dialami saudara subjek.
Subjek mengalami ketakutan terhadap
permen. Dalam studi kasus ini peneliti mencoba untuk menganalisis berbagai hal
mengenai terjadinya kasus tersebut, serta dampak yang terjadi dari adanya kasus
ini. dengan analisis studi kasus maka peneliti mencoba merancang alternatif
pemecahan masalah. Pelasanaan studi kasus yang tepat sasaran, sistematis dapat
membuat peneliti mendapatkan gambaran dan data yang lengkap mengenani masalah
yang dianalisis.
1.2
Prosedur
Pemilihan Kasus
Dalam melaksanakan pemilihan kasus, peneliti melakukan assessment terhadap masalah mahasiswa di
kos peneliti. Dalam melakukan pemilihan kasus peneliti mempertimbangkan
keunikan kasus dan tingkat keparahan kasus. Peneliti akhirnya menemukan dan
menentukan kasus yang dipilih adalah ketakutan terhadap sesuatu atau fobia.
Kasus fobia dianggap unik karena fobia yang dialami saudara subjek
termasuk tidak wajar. Tidak wajar dikarenakan fobia subjek adalah ketakutan
terhadap permen. Permen merupakan makanan yang disukai dan dikonsumsi banyak
orang baik anak-anak maupun orang tua, tetapi subjek justru takut terhadap
benda satu ini. hal inilah yang menjadi alasan peneliti melaksanakan studi
kasus masalah fobia.
Tingkat keparahan kasus ditentukan berdasarkan derajat ketakutan subjek.
Ketakutan subjek berada level tinggi karena subjek sama sekali tidak dapat bersentuhan,
melihat permen sehingga subjek sering histeris ketika menemukan atau melihat
permen. Kasus ini harus segera dianalisis dan diatasi agar subjek bisa hidup
dengan efektif.
1.3
Tujuan Studi Kasus
Tujuan dari pelaksanaan studi kasus ini adalah
1. Individu
mencoba memahami lebih dalam mengenai masalah yang dialami individu.
2. Mendapatkan data yang lengkap dan objektif mengenai
masalah subjek.
3. Membantu
individu meemukan alternatif pemecahan masalah.
4. Membantu
individu hidup dengan efektif apabila alternatif pemecahan masalah
dilaksanakan.
1.4
Manfaat Studi Kasus
Manfaat studi kasus adalah
1.
Menambah
pemahaman mengenai metode penelitian.
2.
Memberikan tambahan informasi mengenai
permasalahan yang diangkat dalam studi kasus.
BAB II
IDENTIFIKASI
KASUS
2.1
Identitas Praktikan
Identitas
praktikan yang melakukan studi kasus adalah
1.
Nama :Putri
Deshea M.H
2.
NIM :11301413076
3.
Tempat &
Tanggal lahir : Jakarta, 23
Desember 1995
4.
Jurusan : Bimbingan
konseling
5.
Semester : VI (enam)
2.2
Identitas Klien
Identitas
praktikan yang menjadi subjek studi kasus adalah
1. Nama :
RN (inisial)
2. Tempat & Tanggal lahir : Pemalang, 25 Oktober 1993
3. Jurusan :
Bahasa dan Sastra Asing (Perancis)
4. Semester :
VIII (delapan)
5. Umur :
22 tahun
6. Alamat :
Ds. Widodaren, Petarukan, Pemalang
7. Anak ke :
3 dari 3 bersaudara
8. Nama ayah :
Sujarwo
9. Nama ibu :
Warti
2.3
Riwayat Kasus
RN
memiliki ketakutan terhadap permen. Ketakutan atau fobia RN telah terjadi sejak
kecil. RN tidak mengetahui penyebab fobia yang ia alami. Dari perkiraan
teman-temanya fobia RN disebabkan oleh larangan berlebihan yang diberikan orang
tua RN kepadanya sehingga ia mengembangkan sikap negatif terhadap permen.
Kemungkinan penyebab lainya adalah RN ditakuti permen ketika kecil. Ketika
kuliahpun RN sering dijaili oleh teman kosnya. Teman kos RN suka melempar RN
dengan permen. Sehingga RN semakin takut.
RN
teakhir kali makan permen ketika kelas V SD ketika ada pemerikasaan gigi di
sekolah dan siswa diwajibkan memakan permen, dampaknya ia menjadi tidak enak
badan setelah memakan permen. Menurut praktikan fobia terjadi karena RN
mengembangkan pemikiran yang irasional terhada permen sehingga ia menjadi
jijik, risih, dan takut.
2.4
Gejala- Gejala
Beberapa
gejala yang timbul dari kasus RN adalah RN menghindari melihat permen, tidak
makan permen sama sekali, histeris ketika dilempar permen, takut bersentuhan
atau memegang permen, RN mencuci setiap benda yang terkena atau bersentuhan
dengan permen. RN selalu lari kalau ada temanya yang memberikan permen.
2.5
Keluhan dan Harapan
RN
megnginkan masalahnya bisa selesai dan diatasi dengan baik. Apabila kasus ini
tidak segera diselesaikan maka ia takut hal ini akan berdampak pada dirinya
seperti lingkungan sosial karena hampir semua tempat terdapat permen dan
bungkus permen namun jika masalah ini tidak diatasi bisa saja ia histeris dan
memalukan dirinya ketika bertemu banyak orang dan terdpat permen di tempat itu.
Selain itu masalahnya dikhawatrikan bisa berdampak pada anaknya yang mungkin
bisa jadi takut terhadap permen.
2.6
Jenis, nama dan tingkatan kasus
Kasus RN
termasuk kategori fobia. Tingkatan kasus parah karena RN menghindari segala hal
yang berhubungan dengan permen.
BAB III
KAJIAN TEORI
3.1 Fobia
1.
Pengertian fobia
Marks (dalam Morris dkk, 1987) mengatakan bahwa fobia merupakan bentuk yang
spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan secara
rasional, sulit untuk dikontrol dan biasanya situasi yang ditakutkan tersebut selalu
dihindari. Fobia adalah rasa takut yang menetap terhadap objek atau situasi dan
rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya (Nevid, 2005). Selanjutnya. Neale,
dkk (2001) mengatakan bahwa fobia yaitu perasaan takut dan menghindar terhadap
objek atau situasi yang realita atau kenyataannya tidak berbahaya. Berdasarkan
uraian di atas, fobia adalah rasa takut yang kuat dan tetap terhadap objek, situasi atau kejadian
yang muncul pada situasi tertentu, tidak dapat dijelaskan secara rasional,
sulit untuk dikontrol dan biasanya situasi yang ditakutkan tersebut selalu
dihindari.
2. Ciri-ciri gangguan
fobia
Berdasarkan DSM IV
(dalam Martin & Pear, 2003), gangguan fobia memiliki
ciri-ciri:
1.
Ketakutan/kecemasan
yang menghasilkan perubahan fisiologis seperti tangan berkeringat, pusing atau
jantung berdebar.
2.
Melarikan diri
atau menghindari situasi dimana rasa takut sering muncul.
3.
Perilaku
tersebut mengganggu kehidupan individu.
3. Jenis Fobia
Ada dua jenis fobia
menurut Gunawan (2006) yaitu:
1.
Simple
phobia/Specific phobia (fobia sederhana): fobia yang muncul karena satu pemicu
saja. Misalnya fobia kucing, perasaan takut hanya terbatas pada kucing dan
tidak pada binatang lain.
2.
Complex
phobia (fobia kompleks): fobia ini
berhubungan dengan banyak penyebab, biasanya fobia ini bukan masalah utama dan
merupakan symptom dari satu atau lebih masalah psikologis yang belum
terselesaikan. Misalnya fobia berbicara di depan umum, masalah utama fobia ini sebenarnya
adalah harga diri yang rendah, masalah ini mengakibatkan seseorang tidak
percaya diri sehingga tidak berani atau takut berdiri di depan orang banyak.
BAB
IV
DATA
KASUS
4.1 Wawancara dengan Klien
Hasil wawancara dengan klien
mendapatkan beberapa informasi memngenai
fobianya. RN mengalami fobia dengan permen sejak kecil. RN mengatakan jika ia
memakan permen waktu kecil namun semenjak usia sekitar 4 tahun ia takut dengan
permen. Fobia muncul ketika RN bertemu permen dan bungkusnya. RN menghindari
untuk melihat, menginjak, memegang, menyentuh, dan bertemu permen.RN tidak
mengetahui secara sadar kenapa ia bisa trauma tetapi ia bercerita kakaknya suka
menakut-nakutinnya ketika ia kecil. RN
menyadari hal tersebut ketika SD kelas kecil sekitar SD kelas satu.
RN terakhir makan permen ketika
kelas 5 SD. Waktu itu ada pemerikasaan gigi dan RN diminta makan permen. Lalu
RN terpaksa makan permen dan hasilnya ia menjadi tak enak badan. RN
menganggap permen adalah benda yang kotor, menjijikan, dan membuat
risih. Sampai sekarang ia belum melakukan apa-apa untuk mengatasi ketakutanya
terhadap permen. Ia berharap ketakutanya segera sembuh walaupun menurutnya itu
sulit.
4.2 Wawancara dengan teman kos klien
Wawancara dengan teman kos
klien dilakukan kepada dua subjek yatiu RA dan MI. Hasil wawancara dengan RA
dapat disimpulkan beberapa pemahaman mengenai fobia permen. RA mengetahui fobia RN melalui informasi yang
didapat MI saat MI membeli sesuatu di warung ternyata RN takut saat uang
kembalianya terdapat permen. RA mengetahui fobia X ketika semseter 5 atau
sekitar tahun 2015. Menurutnya RN mungkin trauma karena sering ditakuti permen
ketika kecil. Selama di kos RN tidak pernah bercerita mengenai fobianya kepada
RA. Menurut RA fobia RN adalah fobia yang tidak wajar karena permen adalah benda
yang disukai banyak orang tetapi justru ditakuti. Dikahwatirkan jika fobia RN
tidak segera diatasi hal ini akan membuat fobianya bisa menurun ke anaknya,
karena RN kemungkinan tidak suka dan melarang anaknya makan permen
MI adalah teman kos klien yang
paling dekat dengan RN. RN pernah bercerita mengenai fobia yang ia miliki. MI
juga merupakan teman kos yang mengetahui pertama kali jika RN mengalami fobia.
Waktu itu MI pergi ke warung besama RN untuk membeli sesuatu. Ketika RN
menerima uang kembalian atas belanjanya, uang kembalianya terdapat permen lalu
RN meminta tolong kepada MI untuk mengambil permen ditanganya. Ia mengetahui
fobianya sekitar semester 5 atau tahun 2015. Menurutnya fobia RN tidak
terlalu mengganggu.
Fobia RN tidak mengganggu RA
dan MI dalam kehidupan sehai-ri-hari mereka justru senang bisa menakuti RN
dengn fobianya. ketika MI dan RA suka mengganggu RN dengan permen. Ia suka
melempari RN dengan permen,menaruh permen di tas, laptop, dan kasurnya. Hal ini
dilakukan untuk memberi shock terapi tetapi
hal tersebut tidak berhasil membuat RN takut jusru menambah ketakutan RN
terhadap permen. Ketika MI dan RA
melempar RN dengan permen respon RN langsung mandi. Saat permen atau bungkus
permen ditaruh di benda RN. Benda tersebut langsung dicuci.
BAB V
ANALISIS DAN
DIAGNOSIS
5.1Analisis
Dari data yang diperoleh
praktikan RN memiliki masalah simple
fobia atau fobia sederhana karena fobianya haya pada permen tidak ada
hubunganya dengan simptom gejala masalah psikologis lainya. Fobia yang dialami
RN telah mengganggu kehidupannya. Permen merupakan suatu makanan yang disukai banyak
orang namun ia justru merasa jijik, takut, dan risih ketika melihatnya apalagi
untuk memakanya ia tak mau. RN menganggap permen adalah benda atau makanan yang
kotor sehingga ia tidak berani meyentuh atau memegangnya. Tanpa disadari RN
telah merepres peristiwa-peristiwa buruk yang menyebabkan ia fobia permen
sehingga ia tidak mengingat dan tidak menyadari penyebab traumanya.
Ketakutan-ketakutan ini kemungkinan lahir karena adanya pengalaman masa lalu RN
yang suka ditakuti permen oleh saudaranya. Kemungkinan kedua ketakutanya
disebabkan oleh adanya penguatan negatif yang ditemui oleh dirinya ketika makan
permen.
Walaupun fobia ini sudah
lama namun RN memiliki kemungkinan sembuh, karena ia pernah dipaksa makan
permen oleh dokter gigi yang memeriksanya sewaktu SD. Walaupun RN tidak enak badan namun kemungkinan RN bisa
terbiasa dengan permen setelah ia menjalani terapi atau konseling
tertentu. RN ingin bisa mengatasi
fobianya namun ia tidak yakin kalau ia bisa sembuh. RN berpikir jika metode penyembuhan akan
fobianya bisa menjadi sulit karena ia sangat takut dengan permen.
5.2Diagnosis
1.
Esensi masalah
Esensi masalah dari fobia ini terletak pada cara pandang RN terhadap
permen. Ia berpikir bahwa permen suatu benda yang menjijikan dan kotor sehingga
ia memiliki respon yang kurang tepat ketika melihat permen. RN memiliki distorsi kognitif berupa arbitary inference yaitu penarikan suatu
kesimpulan tanpa adanya bukti yang relevan. RN meyakini jika peemen adsuatu yang
kotor, menjijikan, dan menakutkan tanpa ada bukti yang jelas mengenai
pemikiranya itu.
2. Latar
belakang masalah
Latar belakang masalah RN ada dua kemungkinan yaitu pertama trauma masa
lalu karena RN sering ditakut-takuti permen oleh kakaknya dan juga larangan
atau penguatan negatif yang mungkin saja diberikan kepada RN waktu makan permen,
karena RN juga makan permen waktu kecil. Trauma ini tanpa disadari menyebabkan
RN mengembangkan pemikiran negatif mengenai permen dan respon yang kurang tepat
jika melihat permen. Sedangkan permen adalah makanan yang enak yang umumnya
disukai dan dikonsumsi banyak orang.
3. Faktor
penyebab
Faktor penyebab yaitu pertama trauma masa lalu karena RN sering
ditakut-takuti permen oleh kakaknya dan juga larangan atau penguatan negatif
yang mungkin saja diberikan kepada RN waktu makan permen, karena RN juga makan
permen waktu kecil. Trauma ini tanpa disadari menyebabkan RN mengembangkan
pemikiran negatif mengenai permen dan respon yang kurang tepat jika melihat
permen. Faktor penyebab lainya adalah kebiasaan teman kosnya yang suka
menggangunya dengan melempar dan menaruh permen ke benda-benda pribadinya
menyebabkan ia semakin jijik dan takut apabila melihat permen. Penyebab lainya
adalah karena banyak bungkus permen yang dibuang sembarangan di jalan, ia menjadi segan
untuk pergi melewati tempat yang ada sampah bungkus permen.
4.
Dinamika psikis klien
Dinamika psikis positif klien adalah keinginan klien untuk bisa sembuh dan
berubah menjadi lebih baik ia ingin berani untuk menyentuh permen dan
memakanya. Ia sudah pernah mencoba untuk makan permen secara langsung dan tanpa
disadari hal tersebut mengembangkan pemikiranya bahwa permen tidak menjijikan,
tidak kotor, dan rasanya enak. Walaupun setelah kejadian itu ia masih takut
tetapi pengalaman tersebut akan sangat berguna dalam terapi atau konseling
nantinya dalam membantu merekrontruksi pemikiran-pemikiran tidak adaptif agar lebih
adaptif atau bermanfaat.
Dinamika psikis negatif klien adalah ketakutanya yang berlebihan dan
menganggap fobianya adalah hal yang kurang wajar sehingga menyebabkan ia enggan
dan merasa kesulitan jika harus berubah. Dalam hal ini ia kurang percaya kalau
dia bisa sembuh. Ketakutan klien menyebabkan ia menganggap dirinya pribadi yang
aneh.
BAB VI
PROGNOSIS
6.1
Alternatif
Pemecahan
Alternatif pemecahan yang dilakukan adalah dengan konseling. Konseling
dilakukan dnegan mengubah cara pandang klien mengenai benda yang membuatnya
menjadi takut. Pemikiran –pemikiran negatif harus diselesaikan dahulu sebagai
pangkal masalah utama. Setelah pemikiran negatif klien dikendalikan maka ada
pelatihan perilaku baru untuk mengatasi perilaku klien agar berani menyentuh
dan memakan permen.
1.
Pendekatan
Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan CBT ( Cognitive Behaviour Teraphy). Pendekatan
ini lebih menekankan peranan kognitif dalam melihat suatu masalah sebagai
respona atas pemikiran yang salah. Asumsi tingkah laku
bermasalah menurut pendekatan ini ialah bahwa individu mengalami distorsi
kognitif yang mengarah pada perilaku maladaptif. Jadi individu berpikir hal
yang kurang tepat, karena membuat kesimpulan yang salah atas dasar informasi
yang tidak memadai atau tidak benar, dan gagal untuk membedakan antara fantasi
dan kenyataan.
Konseling CBT adalah menitik beratkan pada
restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang
merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa
depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir,
kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar
mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek
behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih
jelas.
Tujuan dari terapi Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak individu
untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti
yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. CBT
dalam pelaksanaan terapi lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu,
akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT lebih banyak bekerja pada
status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi
status kognitif positif. Selain itu, tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavior Therapy diantaranya :
a.
Membangkitkan
pikiran-pikiran negatif/berbahaya, dialog internal atau bicara sendiri (sweaf –
talk) dan interpretasi terhadap
kejadian-kejadian yang dialami. Pikiran-pikiran negatif tersebut muncul secara
otomatis, sering diluar kesadaran konseli, apabila menghadapi situasi stres
atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku
maladaptif yang menambah berat masalahnya.
b.
Terapis bersama
klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi yang telah
diambil. Oleh karena pikiran otomatis sering didasarkan atas kesalahan logika,
maka progam Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) diarahkan untuk membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif.
Pasien dilatih mengenali pikirannya,dan mendorong untuk menggunakan
keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur
kognitif yang maladaptif.
c.
Menyusun desain
eksperimen (homework) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data
tambahan untuk diskusi dalam proses terapi.
2. Langkah-Langkah
Langkah-langkah konseling CBT yang diterapkan
adalah
1.
Membangun
hubungan kolaboratif
2.
Memandu
klien mencari pola keyakinan maldatif/ skema maladatif/ pemikiran yang tidak
akurat, konselor dapat memberi PR kepada klien.
3.
Mengajukan
3 teknik pertanyaan
1.
Apa
bukti dari keyakinan klien.
2.
Bagaimana
klien menginterpretasi situasi yang didapat berkenaan dengan keyakinan klien.
3.
Jika
hal yang diyakini klien benar apa implikasinya buat klien
4.
Merumuskan
pikiran spontan dengan menggunakan catatan pikiran disfungsional melalui PR
yang ditugaskan kepada klien.
5.
Merekontruksi
kembali pikiran adaptif melalui teknik spesifik.
6.
Terminasi,
konselor mendorong klien untuk mengakui dan mengevaluasi pemikiranya.
BAB VII
7.1Kesimpulan
Fobia RN terhadap permen telah dialami sejak kecil. RN menganggap permen adalah benda atau makanan yang
kotor sehingga ia tidak berani meyentuh atau memegangnya. Ketakutan-ketakutan
ini kemungkinan lahir karena adanya pengalaman masa lalu RN yang suka ditakuti
permen oleh saudaranya. Kemungkinan kedua ketakutanya disebabkan oleh adanya
penguatan negatif yang ditemui oleh dirinya ketika makan permen sewaktu kecil. Faktor penyebab lainya adalah kebiasaan teman kosnya yang
suka menggangunya dengan melempar dan menaruh permen ke benda-benda pribadinya
menyebabkan ia semakin jijik dan takut apabila melihat permen. Penyebab lainya
adalah karena banyak bungkus permen yang dibuang sembarangan di jalan, ia menjadi segan
untuk pergi melewati tempat yang ada sampah bungkus permen.
Alternatif bantuan yang ditawarkan adalah konseling CBT ( Cognitive Behaviour Teraphy). Pendekatan ini leih menekankan
peranan kognitif dalam melihat suatu masalah sebagai respona atas pemikiran
yang salah. Asumsi tingkah laku bermasalah menurut pendekatan
ini ialah bahwa individu mengalami distorsi kognitif yang mengarah pada
perilaku maladaptif. Jadi individu berpikir hal yang kurang tepat, karena
membuat kesimpulan yang salah atas dasar informasi yang tidak memadai atau
tidak benar, dan gagal untuk membedakan antara fantasi dan kenyataan.
7.2Faktor
Penghambat
Faktor
penghambat yang mungkin ditemui ketika melakukan studi kasus adalah klien yang
masih tertutup dan kurang percaya akan kerahasiaan data walaupun praktikan
telah menjelaskan mengenai asas kerahasiaan data studi kasus. Faktor penghambat
lainya adalah ketika wawancara praktikan kesulitan melakukan pendalaman atas
pernyataan yang diberikan subjek sehingga data yang didapat kurang lengkap dan
menyeluruh. Faktor lainya adalah klien studi kasus tidak mampu untuk menelisik
lebih dalam mengenai penyebab masalah beserta latar belakang masalahnya terjadi
sehingga praktikan hanya mampu berspekulasi atau mneduga-duga. Triangulasi data
yang dilakukan kurang banyak dan data pendukung kasusnya kurang tepat,
seharusnya data pendukung bisa ditambah lagi data dari orang tua klien namun
karena keterbatasan waktu menyebabkan praktikan tidak mencari data dari orang
tua klien.
7.3Faktor
Pendukung
Faktor
pendukung yang ditemui oleh praktikan adalah praktikan dapat berinteraksi
langsung dengan klien karena praktikan
tinggal bersama klien dalam satu rumah. Faktor pendukung lainya adalah klien
menerima baik tawaran praktikan untuk melaksanakan studi kasus sehingga praktikan
lebih mudah melakukan wawancara.
DAFTAR
PUSTAKA
Oemarjoedi, A.K. 2003. Pendekatan Cognitive Behavior dalam
Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Winkel dan Sri Hastuti. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi
pendidikan. Yogyakarta : Media Abadi.






0 komentar:
Posting Komentar
silahkan tinggalkan pesan. saya harap kita bisa berteman. semoga blog ini bermanfaat, amin : )