Rabu, 07 Juni 2017

analisis studi kasus fobia bimbingan konseling

BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Masalah adalah suatu hal yang menggangu dan harus diselesaikan. Dalam menyeslesaikan suatu masalah diperlukan sebuah analisis mendalam mengenai masalah tersebut. Analisis dilakukan dengan berbagi metode salah satunya adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu teknik pengentasan masalah siswa dengan  melakkan pengamatan dan penelitian mengenai masalah siswa secara mendalam. Studi kasus memberikan pemahaman yang mendalam mengenai penyebab masalah, dampak masalah, dan metode alternatif untuk memecahkan masalah.  Menurut Winkel (2004:660) tujuan studi kasus adalah mendalami individu secara mendalam tentang perkembangan individu dan penyesuaianya terhadap lingkungan.
Kasus yang dipilih adalah kasus atau masalah yang dialami saudara subjek. Subjek  mengalami ketakutan terhadap permen. Dalam studi kasus ini peneliti mencoba untuk menganalisis berbagai hal mengenai terjadinya kasus tersebut, serta dampak yang terjadi dari adanya kasus ini. dengan analisis studi kasus maka peneliti mencoba merancang alternatif pemecahan masalah. Pelasanaan studi kasus yang tepat sasaran, sistematis dapat membuat peneliti mendapatkan gambaran dan data yang lengkap mengenani masalah yang dianalisis. 
1.2             Prosedur Pemilihan Kasus
Dalam melaksanakan pemilihan kasus, peneliti melakukan assessment terhadap masalah mahasiswa di kos peneliti. Dalam melakukan pemilihan kasus peneliti mempertimbangkan keunikan kasus dan tingkat keparahan kasus. Peneliti akhirnya menemukan dan menentukan kasus yang dipilih adalah ketakutan terhadap sesuatu atau fobia.  
Kasus fobia dianggap unik karena fobia yang dialami saudara subjek termasuk tidak wajar. Tidak wajar dikarenakan fobia subjek adalah ketakutan terhadap permen. Permen merupakan makanan yang disukai dan dikonsumsi banyak orang baik anak-anak maupun orang tua, tetapi subjek justru takut terhadap benda satu ini. hal inilah yang menjadi alasan peneliti melaksanakan studi kasus masalah fobia.
Tingkat keparahan kasus ditentukan berdasarkan derajat ketakutan subjek. Ketakutan subjek berada level tinggi karena subjek sama sekali tidak dapat bersentuhan, melihat permen sehingga subjek sering histeris ketika menemukan atau melihat permen. Kasus ini harus segera dianalisis dan diatasi agar subjek bisa hidup dengan efektif.
1.3             Tujuan Studi Kasus
Tujuan dari pelaksanaan studi kasus ini adalah
1.       Individu mencoba memahami lebih dalam mengenai masalah yang dialami individu.
2.       Mendapatkan data yang lengkap dan objektif mengenai masalah subjek.
3.       Membantu individu meemukan alternatif pemecahan masalah.
4.       Membantu individu hidup dengan efektif apabila alternatif pemecahan masalah dilaksanakan.
1.4             Manfaat Studi Kasus
Manfaat studi kasus adalah
1.       Menambah pemahaman mengenai metode penelitian.
2.        Memberikan tambahan informasi mengenai permasalahan yang diangkat dalam studi kasus.



BAB II
IDENTIFIKASI KASUS
                                                                                                                
2.1  Identitas Praktikan
Identitas praktikan yang melakukan studi kasus adalah
1.        Nama                                       :Putri Deshea M.H
2.        NIM                                        :11301413076
3.        Tempat & Tanggal lahir           : Jakarta, 23 Desember 1995
4.        Jurusan                                    : Bimbingan konseling
5.        Semester                                  : VI (enam)
2.2  Identitas Klien
Identitas praktikan yang menjadi subjek studi kasus adalah
1.      Nama                                       : RN (inisial)
2.      Tempat & Tanggal lahir          : Pemalang, 25 Oktober 1993
3.      Jurusan                                    : Bahasa dan Sastra Asing (Perancis)
4.      Semester                                  : VIII (delapan)
5.      Umur                                       : 22 tahun
6.      Alamat                                                : Ds. Widodaren, Petarukan, Pemalang
7.      Anak ke                                   : 3 dari 3 bersaudara
8.      Nama ayah                              : Sujarwo
9.      Nama ibu                                 : Warti
2.3  Riwayat Kasus
RN memiliki ketakutan terhadap permen. Ketakutan atau fobia RN telah terjadi sejak kecil. RN tidak mengetahui penyebab fobia yang ia alami. Dari perkiraan teman-temanya fobia RN disebabkan oleh larangan berlebihan yang diberikan orang tua RN kepadanya sehingga ia mengembangkan sikap negatif terhadap permen. Kemungkinan penyebab lainya adalah RN ditakuti permen ketika kecil. Ketika kuliahpun RN sering dijaili oleh teman kosnya. Teman kos RN suka melempar RN dengan permen. Sehingga RN semakin takut.
RN teakhir kali makan permen ketika kelas V SD ketika ada pemerikasaan gigi di sekolah dan siswa diwajibkan memakan permen, dampaknya ia menjadi tidak enak badan setelah memakan permen. Menurut praktikan fobia terjadi karena RN mengembangkan pemikiran yang irasional terhada permen sehingga ia menjadi jijik, risih, dan  takut.
2.4  Gejala- Gejala
Beberapa gejala yang timbul dari kasus RN adalah RN menghindari melihat permen, tidak makan permen sama sekali, histeris ketika dilempar permen, takut bersentuhan atau memegang permen, RN mencuci setiap benda yang terkena atau bersentuhan dengan permen. RN selalu lari kalau ada temanya yang memberikan permen.
2.5  Keluhan dan Harapan
RN megnginkan masalahnya bisa selesai dan diatasi dengan baik. Apabila kasus ini tidak segera diselesaikan maka ia takut hal ini akan berdampak pada dirinya seperti lingkungan sosial karena hampir semua tempat terdapat permen dan bungkus permen namun jika masalah ini tidak diatasi bisa saja ia histeris dan memalukan dirinya ketika bertemu banyak orang dan terdpat permen di tempat itu. Selain itu masalahnya dikhawatrikan bisa berdampak pada anaknya yang mungkin bisa jadi takut terhadap permen.
2.6  Jenis, nama dan tingkatan kasus
Kasus RN termasuk kategori fobia. Tingkatan kasus parah karena RN menghindari segala hal yang berhubungan dengan permen.



BAB III

KAJIAN TEORI

3.1 Fobia
1. Pengertian fobia
Marks (dalam Morris dkk, 1987) mengatakan bahwa fobia merupakan bentuk yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan secara rasional, sulit untuk dikontrol dan biasanya situasi yang ditakutkan tersebut selalu dihindari. Fobia adalah rasa takut yang menetap terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya (Nevid, 2005). Selanjutnya. Neale, dkk (2001) mengatakan bahwa fobia yaitu perasaan takut dan menghindar terhadap objek atau situasi yang realita atau kenyataannya tidak berbahaya. Berdasarkan uraian di atas, fobia adalah rasa takut yang kuat dan  tetap terhadap objek, situasi atau kejadian yang muncul pada situasi tertentu, tidak dapat dijelaskan secara rasional, sulit untuk dikontrol dan biasanya situasi yang ditakutkan tersebut selalu dihindari.
2. Ciri-ciri gangguan fobia
Berdasarkan DSM IV (dalam Martin & Pear, 2003), gangguan fobia memiliki
ciri-ciri:
1.         Ketakutan/kecemasan yang menghasilkan perubahan fisiologis seperti tangan berkeringat, pusing atau jantung berdebar.
2.         Melarikan diri atau menghindari situasi dimana rasa takut sering muncul.
3.         Perilaku tersebut mengganggu kehidupan individu.
3. Jenis Fobia
Ada dua jenis fobia menurut Gunawan (2006) yaitu:
1.      Simple phobia/Specific phobia (fobia sederhana): fobia yang muncul karena satu pemicu saja. Misalnya fobia kucing, perasaan takut hanya terbatas pada kucing dan tidak pada binatang lain.
2.      Complex phobia  (fobia kompleks): fobia ini berhubungan dengan banyak penyebab, biasanya fobia ini bukan masalah utama dan merupakan symptom dari satu atau lebih masalah psikologis yang belum terselesaikan. Misalnya fobia berbicara di depan umum, masalah utama fobia ini sebenarnya adalah harga diri yang rendah, masalah ini mengakibatkan seseorang tidak percaya diri sehingga tidak berani atau takut berdiri di depan orang banyak.


 BAB IV

DATA KASUS

4.1  Wawancara dengan Klien
Hasil wawancara dengan klien mendapatkan beberapa  informasi memngenai fobianya. RN mengalami fobia dengan permen sejak kecil. RN mengatakan jika ia memakan permen waktu kecil namun semenjak usia sekitar 4 tahun ia takut dengan permen. Fobia muncul ketika RN bertemu permen dan bungkusnya. RN menghindari untuk melihat, menginjak, memegang, menyentuh, dan bertemu permen.RN tidak mengetahui secara sadar kenapa ia bisa trauma tetapi ia bercerita kakaknya suka menakut-nakutinnya ketika ia kecil.  RN menyadari hal tersebut ketika SD kelas kecil sekitar SD kelas satu.
RN terakhir makan permen ketika kelas 5 SD. Waktu itu ada pemerikasaan gigi dan RN diminta makan permen. Lalu RN terpaksa makan permen dan hasilnya ia menjadi tak enak badan.  RN  menganggap permen adalah benda yang kotor, menjijikan, dan membuat risih. Sampai sekarang ia belum melakukan apa-apa untuk mengatasi ketakutanya terhadap permen. Ia berharap ketakutanya segera sembuh walaupun menurutnya itu sulit.
4.2  Wawancara dengan teman kos klien
Wawancara dengan teman kos klien dilakukan kepada dua subjek yatiu RA dan MI. Hasil wawancara dengan RA dapat disimpulkan beberapa pemahaman mengenai fobia permen.  RA mengetahui fobia RN melalui informasi yang didapat MI saat MI membeli sesuatu di warung ternyata RN takut saat uang kembalianya terdapat permen. RA mengetahui fobia X ketika semseter 5 atau sekitar tahun 2015. Menurutnya RN mungkin trauma karena sering ditakuti permen ketika kecil. Selama di kos RN tidak pernah bercerita mengenai fobianya kepada RA. Menurut RA fobia RN adalah fobia yang tidak wajar karena permen adalah benda yang disukai banyak orang tetapi justru ditakuti. Dikahwatirkan jika fobia RN tidak segera diatasi hal ini akan membuat fobianya bisa menurun ke anaknya, karena RN kemungkinan tidak suka dan melarang anaknya makan permen
MI adalah teman kos klien yang paling dekat dengan RN. RN pernah bercerita mengenai fobia yang ia miliki. MI juga merupakan teman kos yang mengetahui pertama kali jika RN mengalami fobia. Waktu itu MI pergi ke warung besama RN untuk membeli sesuatu. Ketika RN menerima uang kembalian atas belanjanya, uang kembalianya terdapat permen lalu RN meminta tolong kepada MI untuk mengambil permen ditanganya. Ia mengetahui fobianya sekitar semester 5 atau tahun 2015. Menurutnya fobia RN tidak terlalu  mengganggu.
Fobia RN tidak mengganggu RA dan MI dalam kehidupan sehai-ri-hari mereka justru senang bisa menakuti RN dengn fobianya. ketika MI dan RA suka mengganggu RN dengan permen. Ia suka melempari RN dengan permen,menaruh permen di tas, laptop, dan kasurnya. Hal ini dilakukan untuk memberi shock terapi tetapi  hal tersebut tidak berhasil membuat RN takut jusru menambah ketakutan RN terhadap permen.  Ketika MI dan RA melempar RN dengan permen respon RN langsung mandi. Saat permen atau bungkus permen ditaruh di benda RN. Benda tersebut langsung dicuci.



BAB V
ANALISIS DAN DIAGNOSIS
5.1Analisis
Dari data yang diperoleh praktikan RN memiliki masalah simple fobia atau fobia sederhana karena fobianya haya pada permen tidak ada hubunganya dengan simptom gejala masalah psikologis lainya. Fobia yang dialami RN telah mengganggu kehidupannya. Permen merupakan suatu makanan yang disukai banyak orang namun ia justru merasa jijik, takut, dan risih ketika melihatnya apalagi untuk memakanya ia tak mau. RN menganggap permen adalah benda atau makanan yang kotor sehingga ia tidak berani meyentuh atau memegangnya. Tanpa disadari RN telah merepres peristiwa-peristiwa buruk yang menyebabkan ia fobia permen sehingga ia tidak mengingat dan tidak menyadari penyebab traumanya. Ketakutan-ketakutan ini kemungkinan lahir karena adanya pengalaman masa lalu RN yang suka ditakuti permen oleh saudaranya. Kemungkinan kedua ketakutanya disebabkan oleh adanya penguatan negatif yang ditemui oleh dirinya ketika makan permen.
Walaupun fobia ini sudah lama namun RN memiliki kemungkinan sembuh, karena ia pernah dipaksa makan permen oleh dokter gigi yang memeriksanya sewaktu SD. Walaupun RN  tidak enak badan namun kemungkinan RN bisa terbiasa dengan permen setelah ia menjalani terapi atau konseling tertentu.  RN ingin bisa mengatasi fobianya namun ia tidak yakin kalau ia bisa sembuh. RN  berpikir jika metode penyembuhan akan fobianya bisa menjadi sulit karena ia sangat takut dengan permen.
5.2Diagnosis
1.        Esensi masalah
Esensi masalah dari fobia ini terletak pada cara pandang RN terhadap permen. Ia berpikir bahwa permen suatu benda yang menjijikan dan kotor sehingga ia memiliki respon yang kurang tepat ketika melihat permen.  RN memiliki distorsi kognitif berupa arbitary inference yaitu penarikan suatu kesimpulan tanpa adanya bukti yang relevan. RN meyakini jika peemen adsuatu yang kotor, menjijikan, dan menakutkan tanpa ada bukti yang jelas mengenai pemikiranya itu.
2.      Latar belakang masalah
Latar belakang masalah RN ada dua kemungkinan yaitu pertama trauma masa lalu karena RN sering ditakut-takuti permen oleh kakaknya dan juga larangan atau penguatan negatif yang mungkin saja diberikan kepada RN waktu makan permen, karena RN juga makan permen waktu kecil. Trauma ini tanpa disadari menyebabkan RN mengembangkan pemikiran negatif mengenai permen dan respon yang kurang tepat jika melihat permen. Sedangkan permen adalah makanan yang enak yang umumnya disukai dan dikonsumsi banyak orang.
3.      Faktor penyebab
Faktor penyebab yaitu pertama trauma masa lalu karena RN sering ditakut-takuti permen oleh kakaknya dan juga larangan atau penguatan negatif yang mungkin saja diberikan kepada RN waktu makan permen, karena RN juga makan permen waktu kecil. Trauma ini tanpa disadari menyebabkan RN mengembangkan pemikiran negatif mengenai permen dan respon yang kurang tepat jika melihat permen. Faktor penyebab lainya adalah kebiasaan teman kosnya yang suka menggangunya dengan melempar dan menaruh permen ke benda-benda pribadinya menyebabkan ia semakin jijik dan takut apabila melihat permen. Penyebab lainya adalah karena banyak bungkus permen yang dibuang sembarangan di jalan, ia  menjadi segan  untuk pergi melewati tempat yang ada sampah bungkus permen.
4.        Dinamika psikis klien
Dinamika psikis positif klien adalah keinginan klien untuk bisa sembuh dan berubah menjadi lebih baik ia ingin berani untuk menyentuh permen dan memakanya. Ia sudah pernah mencoba untuk makan permen secara langsung dan tanpa disadari hal tersebut mengembangkan pemikiranya bahwa permen tidak menjijikan, tidak kotor, dan rasanya enak. Walaupun setelah kejadian itu ia masih takut tetapi pengalaman tersebut akan sangat berguna dalam terapi atau konseling nantinya dalam membantu merekrontruksi pemikiran-pemikiran tidak adaptif agar lebih adaptif atau bermanfaat.
Dinamika psikis negatif  klien adalah ketakutanya yang berlebihan dan menganggap fobianya adalah hal yang kurang wajar sehingga menyebabkan ia enggan dan merasa kesulitan jika harus berubah. Dalam hal ini ia kurang percaya kalau dia bisa sembuh. Ketakutan klien menyebabkan ia menganggap dirinya pribadi yang aneh.



BAB VI
PROGNOSIS
6.1            Alternatif Pemecahan
Alternatif pemecahan yang dilakukan adalah dengan konseling. Konseling dilakukan dnegan mengubah cara pandang klien mengenai benda yang membuatnya menjadi takut. Pemikiran –pemikiran negatif harus diselesaikan dahulu sebagai pangkal masalah utama. Setelah pemikiran negatif klien dikendalikan maka ada pelatihan perilaku baru untuk mengatasi perilaku klien agar berani menyentuh dan memakan permen.
1.      Pendekatan
Pendekatan yang dipilih adalah pendekatan CBT ( Cognitive Behaviour Teraphy). Pendekatan ini lebih menekankan peranan kognitif dalam melihat suatu masalah sebagai respona atas pemikiran yang salah. Asumsi tingkah laku bermasalah menurut pendekatan ini ialah bahwa individu mengalami distorsi kognitif yang mengarah pada perilaku maladaptif. Jadi individu berpikir hal yang kurang tepat, karena membuat kesimpulan yang salah atas dasar informasi yang tidak memadai atau tidak benar, dan gagal untuk membedakan antara fantasi dan kenyataan.
Konseling CBT adalah menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.
     Tujuan dari terapi Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak individu untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. CBT dalam pelaksanaan terapi lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif. Selain itu, tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavior Therapy diantaranya :
a.       Membangkitkan pikiran-pikiran negatif/berbahaya, dialog internal atau bicara sendiri (sweaf – talk)  dan interpretasi terhadap kejadian-kejadian yang dialami. Pikiran-pikiran negatif tersebut muncul secara otomatis, sering diluar kesadaran konseli, apabila menghadapi situasi stres atau mengingat kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku maladaptif yang menambah berat masalahnya.
b.      Terapis bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomatis sering didasarkan atas kesalahan logika, maka progam Cognitive Behavioral Therapy (CBT) diarahkan untuk membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien dilatih mengenali pikirannya,dan mendorong untuk menggunakan keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptif.
c.       Menyusun desain eksperimen (homework) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi dalam proses terapi.

2.      Langkah-Langkah

 Langkah-langkah konseling CBT yang diterapkan adalah
1.       Membangun hubungan kolaboratif
2.      Memandu klien mencari pola keyakinan maldatif/ skema maladatif/ pemikiran yang tidak akurat, konselor dapat memberi PR kepada klien.
3.      Mengajukan 3 teknik pertanyaan
1.      Apa bukti dari keyakinan klien.
2.      Bagaimana klien menginterpretasi situasi yang didapat berkenaan dengan keyakinan klien.
3.      Jika hal yang diyakini klien benar apa implikasinya buat klien
4.      Merumuskan pikiran spontan dengan menggunakan catatan pikiran disfungsional melalui PR yang ditugaskan kepada klien.
5.      Merekontruksi kembali pikiran adaptif melalui teknik spesifik.
6.      Terminasi, konselor mendorong klien untuk mengakui dan mengevaluasi pemikiranya.



BAB VII
PENUTUP

7.1Kesimpulan

Fobia RN terhadap permen telah dialami sejak kecil. RN menganggap permen adalah benda atau makanan yang kotor sehingga ia tidak berani meyentuh atau memegangnya. Ketakutan-ketakutan ini kemungkinan lahir karena adanya pengalaman masa lalu RN yang suka ditakuti permen oleh saudaranya. Kemungkinan kedua ketakutanya disebabkan oleh adanya penguatan negatif yang ditemui oleh dirinya ketika makan permen sewaktu kecil. Faktor penyebab lainya adalah kebiasaan teman kosnya yang suka menggangunya dengan melempar dan menaruh permen ke benda-benda pribadinya menyebabkan ia semakin jijik dan takut apabila melihat permen. Penyebab lainya adalah karena banyak bungkus permen yang dibuang sembarangan di jalan, ia  menjadi segan  untuk pergi melewati tempat yang ada sampah bungkus permen.
       Alternatif bantuan yang ditawarkan adalah konseling CBT ( Cognitive Behaviour Teraphy). Pendekatan ini leih menekankan peranan kognitif dalam melihat suatu masalah sebagai respona atas pemikiran yang salah. Asumsi tingkah laku bermasalah menurut pendekatan ini ialah bahwa individu mengalami distorsi kognitif yang mengarah pada perilaku maladaptif. Jadi individu berpikir hal yang kurang tepat, karena membuat kesimpulan yang salah atas dasar informasi yang tidak memadai atau tidak benar, dan gagal untuk membedakan antara fantasi dan kenyataan.

7.2Faktor Penghambat

Faktor penghambat yang mungkin ditemui ketika melakukan studi kasus adalah klien yang masih tertutup dan kurang percaya akan kerahasiaan data walaupun praktikan telah menjelaskan mengenai asas kerahasiaan data studi kasus. Faktor penghambat lainya adalah ketika wawancara praktikan kesulitan melakukan pendalaman atas pernyataan yang diberikan subjek sehingga data yang didapat kurang lengkap dan menyeluruh. Faktor lainya adalah klien studi kasus tidak mampu untuk menelisik lebih dalam mengenai penyebab masalah beserta latar belakang masalahnya terjadi sehingga praktikan hanya mampu berspekulasi atau mneduga-duga. Triangulasi data yang dilakukan kurang banyak dan data pendukung kasusnya kurang tepat, seharusnya data pendukung bisa ditambah lagi data dari orang tua klien namun karena keterbatasan waktu menyebabkan praktikan tidak mencari data dari orang tua klien.  

7.3Faktor Pendukung

Faktor pendukung yang ditemui oleh praktikan adalah praktikan dapat berinteraksi langsung dengan  klien karena praktikan tinggal bersama klien dalam satu rumah. Faktor pendukung lainya adalah klien menerima baik tawaran praktikan untuk melaksanakan studi kasus sehingga praktikan lebih mudah melakukan wawancara.


  DAFTAR PUSTAKA
Oemarjoedi, A.K. 2003. Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.

Winkel dan Sri Hastuti. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi pendidikan. Yogyakarta : Media Abadi.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan pesan. saya harap kita bisa berteman. semoga blog ini bermanfaat, amin : )